Senin, 29 Juni 2009

Encouraging Quotation #1

Anda tidak berada di sini hanya untuk sekadar hidup. Anda berada di sini untuk memampukan dunia agar hidup lebih memadai, dengan visi lebih besar dan dengan semangat yang lebih halus atas harapan dan pencapaian. Anda berada di sini untuk memperkayakan dunia. Anda memiskinkan diri Anda sendiri jika Anda melupakan kekeliruan ini. – Woodrow Wilson.

It’s better to fail in originality, than succeed in imitation. – Herman Melville.

There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle. – Albert Einstein.

We don’t see things as they are. We see them as we are. – Anais Nin.

I am still learning. – Michaelangelo.

I am always doing that which I cannot do in order that I may learn how to do it. – Pablo Picasso.

Setiap waktu dalam kehidupan Anda dapat menjadi permulaan dari sebuah perkara yang besar. – Leo Buscaglia.

Jadilah baik, lebih baik; dan yang terbaik; jangan pernah berhenti sampai yang baik dari kita menjadi lebih baik dan yang lebih baik menjadi yang terbaik. – Anonymous.

Visi tanpa tindakan hanyalah sebuah mimpi. Tindakan tanpa visi hanyalah membuang waktu. Visi dengan tindakan akan mengubah dunia. – Joel Arthur Barker.

Jalan terbaik untuk bebas dari masalah adalah dengan memecahkannya. – Alan Sporta

Seseorang tanpa tujuan hidup bagaikan kapal tanpa kendali. – Thomas Carlyle.

Masa depan adalah milik mereka yang sungguh-sungguh hidup di masa kini. – Anonymous.

Sesuatu mungkin mendatangi mereka yang mau menunggu, tapi hanya didapatkan oleh mereka yang bersemangat mengejarnya. – Abraham Lincoln.

Sukses bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal, tetapi keberanian untuk meneruskan kehidupanlah yang diperhitungkan. – Sir Winston Churchill.

Tuhan tidak melihat medali, gelar maupun ijazah yang Anda miliki, melainkan Ia melihat bekas luka. – Elbert Hubbard.

Jangan biarkan kenangan hari kemarin membayangi langkah Anda pada hari ini. – Will Rogers.

Jika Anda takut dengan masa depan Anda, Anda tidak hidup di masa kini. – James Petersen.

Dia yang berani bertanya terlihat bodoh beberapa saat, tapi dia yang tidak berani bertanya akan menjadi bodoh selamanya. – Anonymous.

Tidak ada perkara besar yang diciptakan secara tiba-tiba. – Epictetus.

Langkah pertama untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan di dunia ini adalah: Putuskan apa yang menjadi keinginan Anda. – Ben Stein.

Putuskan untuk melakukan apa yang kau inginkan dan lakukan tanpa gagal apa yang sudah kau putuskan. – Benjamin Franklin.

Jangan biarkan ketakutan menghalangi hasrat Anda untuk mengejar pengharapan. – John F. Kennedy.

Seseorang dapat meraih kesuksesannya dalam segala hal bila dia memiliki semangat yang tidak terbatas. – Charles M. Schwab.

Anda mendapatkan yang terbaik dari orang lain apabila Anda memberikan yang terbaik dari diri Anda kepada orang lain. – Harry Firestone.

Untuk mengerjakan sebuah perkara besar, kita tidak hanya bertindak, tapi juga bermimpi; tidak hanya berencana, tapi juga percaya. – Anatole France.

Seseorang harus cukup berjiwa besar untuk mengakui kesalahannya, cukup bijaksana untuk belajar dari kesalahannya dan cukup kuat untuk memperbaiki dirinya. – John C. Maxwell.

Kehidupan seseorang menjadi berubah saat dia merubah dirinya. – Andrew Matthews.

Rabu, 24 Juni 2009

Empat Obat Mujarab

Seorang anak muda. Ia telah berusaha memberikan dasar yang kokoh bagi keluarganya. Namun ia menemukan kekosongan di dasar sanubarinya. Ia dilanda kecemasan dan kehilangan arah hidup. Semakin hari situasinya semakin parah. Ia memutuskan untuk pergi ke dokter sebelum menjadi amat terlambat.

Setelah mendengarkan keluhannya, dokter memberikan empat bungkus obat sambil berpesan; “Besok pagi sebelum jam sembilan pagi engkau harus menju pantai seorang diri sambil membawa ke empat bungkus obat ini. Jangan membawa buku atau majalah. Juga jangan membawa radio atau tape. Di pantai nanti anda membuka bungkusan obat sesuai dengan waktu yang tercatat pada bungkusannya, yakni pada jam sembilan, jam dua belas, jam tiga dan jam lima. Dengan mengikuti resep yang ada di dalamnya aku yakin penyakitmu akan sembuh.”

Orang tersebut berada di antara percaya dan ragu akan resep yang diberikan dokter. Namun demikian pada hari berikutnya ia pergi juga ke pantai. Begitu tiba di pesisir pantai di pagi hari, sementara matahari pagi mulai muncul di ufuk timur dan laut biru memantulkan kembali sinarnya yang merah keemasan itu, sambil deru ombak datang silih berganti, hatinya dipenuhi kegembiraan yang amat dalam.

Tepat jam sembilan, ia membuka bungkusan obat yang pertama. Tapi tak ia dapati obat didalamnya, cuma secarik kertas dengan tulisan: “Dengarlah.” Aneh bin ajaib, orang tersebut patuh pada apa yang diperintahkan. Ia lalu duduk tenang mendengarkan desiran angin pantai serta deburan gelombang yang memecah bibir pantai. Ia bahkan secara perlahan-lahan mampu mendengarkan setiap detak jantungnya sendiri yang menyatu dengan melodi musik alam di pantai itu. Telah begitu lama ia tak pernah duduk dan menjadi sungguh tenang seperti hari ini. Ia terlampau sibuk dengan usahanya. Saat ini ia merasa seakan-akan jiwanya dibasuh bersih.

Jam dua belas tepat. Ia membuka bungkusan obat yang kedua. Tentu seperti halnya bungkusan yang pertama, tak ada obat yang didapati kecuali selembar kertas bertulis; “Mengingat”. Ia beralih dari mendengarkan musik pantai yang indah dan nyaman itu dan perlahan-lahan mengingat setiap jejak langkahnya sendiri sejak kanak-kanak. Ia mengingat masa-masa sekolahnya dulu, mengingat kedua orang tuanya yang senantiasa memancarkan kasih di wajah mereka. Ia juga mengingat semua teman yang ia cintai dan tentu juga mencintainya. Ia merasakan ada segumpal kekuatan dan kehangatan hidup memancar dari dasar bathinnya.

Ketika ia membuka bungkusan ketiga saat waktu menunjukan jam tiga tepat, ia menemukan secaraik kertas dengan tulisan: “Menimbang dan menilai motivasi”. Ia memejamkam mata, memusatkan perhatiannya untuk menilai kembali niat pertama ketika ia membangun usahanya. Saat itu yang menjadi inspirasi utama ia membuka usaha adalah secara gigih bekerja untuk melayani kebutuhan sesamanya. Namun ketika usahanya kini telah memperoleh bentuknya, ia lupa hal ini dan hanya berpikir tentang keuntungan yang bakal diperoleh. Keuntungan kini menjadi penguasa dirinya, ia telah berubah menjadi manusia yang egoistis, serta lupa memperhatikan nasib orang lain. Ia kini seakan telah mampu melihat akar penyakitnya sendiri, ia menemukan alasan yang senantiasa membuatnya cemas.

Ketika matahari telah hilang dan bentangan laut berubah merah, ia membuka bungkusan obatnya yang terakhir. Di sana tertulis: “Tulislah segala kecemasanmu di bibir pantai.” Ia menuju bibir pantai, lalu menuliskan kata “cemas”. Ombak datang serentak dan menghapus apa yang baru dituliskannya. Bibir pantai seakan disapu bersih, kata “cemas” yang baru ditulisnya hilang ditelan ombak.

-------------------------------

Siapakah tokoh utama dalam kisah di atas??? Mungkin aku, mungkin pula anda. Pernahkah aku secara tulus mendengarkan bahasa bathinku sendiri? Atau pernahkah aku mengingat segala yang manis maupun pahit yang terjadi di masa silam namun telah membentuk siapa aku saat ini?? Apa yang menjadi motivasi utama hidupku hari ini dan besok?? Dan apa kecemasanku??

Mari kita menuliskan setiap beban dan kecemasan kita di atas salib kematian Yesus, Salib yang memberikan kekuatan. Sebab Ia sendiri pernah berkata; “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat 11:28)


--- Unknown ---



Senin, 22 Juni 2009

Welcome Notes

Welcome,
Everyone is invited, everyone is loved.
If you are confused with this life,
you need someone to stay by your side,
don't hesitate to ask for His presence.

Jesus loves you, He cares for your life.
Though maybe you don't like about this life,
indeed He still loves you and your life,
come closer to Him and never let Him go.

This site is dedicated to help anyone to know about life, dreams, and everything your heart desires. You can find encouraging stories, articles, parables, poems, etc. that will boost your soul.
If you want to help this site, please don't hesitate to send your articles, stories, poems or whatever it is (as long as it's encouraging).
You can email me at holy_vink@yahoo.com

Thank you and God bless you abundantly,

Ivan (Holy Vink)

I Know Who Holds Tomorrow

I don't know about tomorrow, I just live from day to day
I don't borrow from its sunshine, for its skies may turn to gray
I don't worry over the future, for I know what Jesus said
And today I'll walk beside Him, for He knows what is ahead.

Every step is getting brighter, as the gold enstatite I climb
Every burdens getting lighter,
Every cloud is silver lined
There the sun is always shinning
There no tear will dim the eye
At the ending of the rainbow, where the mountains touch the sky

I don't know about tomorrow, It may bring me poverty
But the one who feeds the sparrow, is the one who stands by me
And the path that is my portion, may be through the flame or flood
But His presence goes before me, and I'm covered with His blood

Many things about tomorrow, I don't seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand

--- Unknown ---



Jumat, 19 Juni 2009

The Colors of the World

Di suatu masa warna-warna dunia mulai bertengkar. Semua menganggap dirinyalah yg terbaik yg paling penting yg paling bermanfaat yg paling disukai.

HIJAU berkata: "Jelas akulah yg terpenting. Aku adalah pertanda kehidupan & harapan. Aku dipilih untuk mewarnai rerumputan, pepohonan & dedaunan. Tanpa aku, semua hewan akan mati. Lihatlah ke pedesaan, aku adalah warna mayoritas..."

BIRU menginterupsi: "Kamu hanya berpikir tentang bumi, pertimbangkanlah langit & samudra luas. Airlah yg menjadi dasar kehidupan & awan mengambil kekuatan dari kedalaman lautan. Langit memberikan ruang, kedamaian & ketenangan. Tanpa kedamaian, kamu semua tidak akan menjadi apa-apa."

KUNING cekikikan: "Kalian semua serius amat sih? Aku membawa tawa, kesenangan & kehangatan bagi dunia. Matahari berwarna kuning & bintang-bintang berwarna kuning. Setiap kali kau melihat bunga matahari, seluruh dunia mulai tersenyum. Tanpa aku, dunia tdk ada kesenangan."

ORANGE menyusul dengan meniupkan trompetnya: "Aku adalah warna kesehatan & kekuatan. Aku jarang, tetapi aku berharga karena aku mengisi kebutuhan kehidupan manusia. Aku membawa vitamin-vitamin terpenting. Pikirkanlah wortel, labu, jeruk, mangga & pepaya. Aku tidak ada dimana-mana setiap saat, tetapi aku mengisi horizon saat fajar atau saat matahari terbenam. Keindahanku begitu menakjubkan hingga tak seorangpun dari kalian akan terbetik di pikiran orang."

MERAH tdk bisa diam lebih lama & berteriak: "Aku adalah Pemimpin kalian. Aku adalah darah - darah kehidupan! Aku adalah warna bahaya & keberanian. Aku berani untuk bertempur demi suatu kausa. Aku membawa api ke dalam darah. Tanpa aku, bumi akan kosong laksana bulan. Aku adalah warna hasrat & cinta, mawar merah & bunga poppy."

UNGU bangkit & berdiri setinggi-tingginya ia mampu: Ia memang tinggi & berbicara dengan keangkuhan. "Aku adalah warna kerajaan & kekuasaan. Raja, Pemimpin & para Uskup memilih aku sebagai pertanda otoritas & kebijaksanaan. Tidak seorangpun menentangku. Mereka mendengarkan & menuruti kehendakku."

Akhirnya NILA berbicara, lebih pelan dari yg lainnya, namun dengan kekuatan niat yg sama: "Pikirkanlah tentang aku. Aku warna diam. Kalian jarang memperhatikan adaku, namun tanpaku kalian semua menjadi dangkal. Aku merepresentasikan pemikiran & refleksi, matahari terbenam & kedalaman laut. Kalian membutuhkan aku untuk keseimbangan & kontras, untuk doa & ketentraman batin."

Jadi, semua warna terus menyombongkan diri, masing-masing yakin akan superioritas dirinya. Perdebatan mereka menjadi semakin keras. Tiba-tiba, sinar halilitar melintas membutakan. Guruh menggelegar. Hujan mulai turun tanpa ampun. Warna-warna bersedeku bersama ketakutan, berdekatan satu sama lain mencari ketenangan.

Di tengah suara gemuruh, Hujan berbicara: "WARNA-WARNA, kalian bertengkar satu sama lain, masing-masing ingin mendominasi yg lain. Tidakkah kalian tahu bhw kalian masing-masing diciptakan untuk tujuan khusus, unik & berbeda? Berpegangan tanganlah & mendekatlah kepadaku!" Menuruti perintah, warna-warna berpegangan tangan mendekati hujan, yg kemudian berkata: "Mulai sekarang, setiap kali hujan mengguyur, masing-masing dari kalian akan membusurkan diri sepanjang langit bagai busur warna sebagai pengingat bhw kalian semua dapat hidup bersama dalam kedamaian.

Pelangi adalah pertanda Harapan Hari Esok." Jadi, setiap kali HUJAN deras membasahi dunia, &
saat Pelangi memunculkan diri di angkasa marilah kita MENGINGAT untuk selalu MENGHARGAI satu sama lain.

Masing-masing kita mempunyai sesuatu yang unik kita semua diberikan kelebihan untuk membuat perubahan di dunia & saat kita menyadari pemberian itu, lewat kekuatan visi kita, kita
memperoleh kemampuan untuk membentuk masa depan ....

--- Unknown ---

Selasa, 16 Juni 2009

Sebelum Kau Mengeluh

Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik,
Pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali

Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu,
Pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.

Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa,
Pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.

Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk,
Pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk didalam hidupnya.

Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istri anda,
Pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberikan teman hidup.

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu,
Pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.

Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu,
Pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul.

Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidak mengerjakan tugasnya,
Pikirkan tentang orang-orang yag tinggal dijalanan.

Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir,
Pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan.

Dan disaat kamu lelah dan menegluh tentang pekerjaanmu,
Pikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda.

Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,
Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.

Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam kesusahan,
Tersenyum dan mengucap syukurlah kepada Tuhan bahwa kamu masih hidup!

Sabtu, 13 Juni 2009

Tuhan itu Ada

Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat.

Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan. Si tukang cukur bilang,
"Saya tidak percaya Tuhan itu ada."
"Kenapa kamu berkata begitu ???" timpal si konsumen.

"Begini, coba Anda perhatikan di depan sana, di jalanan.... untuk menyadari
bahwa Tuhan itu tidak ada. Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, Adakah yang sakit? Adakah anak terlantar? Jika Tuhan ada, tidak akan ada penyakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi."

Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak ingin memulai adu pendapat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur. Beberapa saat setelah dia meninggalkan ruangan itu dia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar, kacau balau, amburadul dan jenggot yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.

Si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata, "Kamu tahu, sebenarnya TIDAK ADA TUKANG CUKUR."
Si tukang cukur tidak terima," Kamu kok bisa bilang begitu ? Saya disini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!"
"Tidak!" elak si konsumen. "Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana", si konsumen menambahkan.
"Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!" sanggah si tukang cukur. " Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke
saya", jawab si tukang cukur membela diri.

"Cocok!" kata si konsumen menyetujui. "Itulah point utama-nya!. Sama dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA! Tapi apa yang terjadi... orang-orang TIDAK MAU DATANG kepada-NYA, dan TIDAK MAU MENCARI-NYA. Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini." Si tukang cukur terbengong !!!!

--- Unknown ---



Rabu, 10 Juni 2009

A Story to Tell

Yo, let me tell you a story
about a man who died on Calvary
He wasn't just a tale of fairy
but He was a true history

All treasures in the world He has
n shining robe He always wears
But then His mind was restless
when He saw the one He loves

Walking to the bed of the wicked
knowing nothing about dead
Seeing the beloved one bested
in the sins they were all trempled

So with no doubt He walked down
threw out His throne and His crown
To born in a monger of a town
where a great star were shown

Be poor so that the loved one be rich
and give strength to the weak
To let loose the one in pinch
and give His hand to winch

Heal the sick, made the blind see
cast the devil, put them on their knee
Taught about what life should be
so that everyone be free

Still many hard times He had
that the loved one do the bad
But that didn't make He sad
not even He became mad

But the day had finally came
when He had to take all the shame
Only for them He took the blame
to see all enter into His Father's fame

Laughed at, cursed, condemned to death
but still he walked up the path
With all the passion and strength
left only in His breath

"Crucify! Crucify" was all they said
knowing not about the price He had paid
"It's finished" finally He said
And at the cross He was crucified

Rose from the death in the third day
from death to life He made a way
So now they don't even have to pay
All was done in that day

You know, God loves you
Yes He really cares about you
You know, God died for you
O yeah, He forgives you

--- Holy Vink ---




Selasa, 09 Juni 2009

In the Garden

What are you doing here in the garden, Lord?
It is so dark and cold and lonely.
You could be back in the city,
Bringing joy to those who seek you.

You are doing it for them? But they are sleeping, Lord.
They don't even know what you're going through, or why.
Besides that, before the evening is over,
They will all deny they even know You.

What are you doing here in the garden, Lord?
The burden is so heavy, the sin so awful
And they are so ungrateful.
You could go back to heaven and leave man to bear his own sins.

You are doing it for me?
But I am sinful and Oh so evil down inside, Lord.
I don't even comprehend what you went through for one such as I.
Besides, I have denied you many times, by the way I live.

What are you doing here in the garden, Lord?
The price is so high, the response so uncertain,
I am so unworthy.
You could be on the throne of Your Glory.

You are doing it for me?
But I don't begin to understand a love so deep and so divine, Lord.
Besides, you have so little to gain, other than the total devotion of those Who see what it was like, here in the garden.


--- David Bender of Faithwriters.com ---


Senin, 08 Juni 2009

The Family

Saya bersenggolan dengan seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda." Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.

Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.

"Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu." "Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan
kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu." Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes.

Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon". "Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru." Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi." Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu". Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."

Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka. Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan?

Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas? Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA?

Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
FAMILY = (F)ather (A)nd (M)other, (I), (L)ove, (Y)ou

-- Unknown --




Minggu, 07 Juni 2009

A Greeting to the Dawn

Pandanglah HARI INI !!! Sbab inilah hidup, yg benar2 hidup, dalam jangkanya yg singkat ini terletak semua Kebenaran serta kenyataan eksistensimu. Kebahagiaan, pertumbuhanmu, kemuliaan perbuatanmu, kemegahan karyamu. Sbab Kemarin hanyalah Mimpi dan Esok hanyalah Bayangan tapi hari ini sungguh ada dan... Membuat hari kemarin jadi mimpi bahagia dan esok menjadi bayangan yg berpengharapan OLEH KARENA ITU ... PANDANGLAH HARI INI !!!

*********** INI'LAH SALAM KPD FAJAR ***********

--- Sir William Osler ---



My Lovely Prince - Peter's Story (Part 2)

Namun…saat itu datang juga…di mana Dia harus menyerahkan nyawaNya. Sudah tiga kali Dia menyatakan kalau diriNya harus dihina, disiksa dan dibunuh untuk menebus dosa manusia. Aku tidak pernah tahu apa maksud perkataanNya. Bukankah Dia seorang pahlawan? Setidaknya Dia seorang pahlawan dalam hidupku. Bukankah dia itu Tuhan? Kenapa harus mati segala? Hari-hari itu merupakan hari yang berat buat kami semua…terutama aku sendiri.


Aku masih ingat…satu malam sebelum Dia diserahkan oleh pengkhianat itu, kami makan malam bersama. Lagi-lagi waktu itu Dia melakukan hal yang aneh. Dia mencuci kaki kami. Aku sangat bingung kenapa seorang guru harus mencuci kaki murid-muridnya. Tapi yang membuka mata hatiku adalah saat Dia berkata bahwa Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.


“Kalau begitu, mandikan aku sekalian , Guru. Biar bersih.” kataku spontan tanpa berpikir dulu.

“Tidak…Kalau kamu sudah mandi, kamu sudah bersih, hanya kakimu yang tidak bersih.” Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Dia katakan. Setelah aku duduk, Dia mulai membasuh kaki kami masing-masing. Kami memulai makan roti yang ada saat guru sudah selesai membasuh. Sebelumnya, Dia memimpin kami untuk berdoa dan kemudian membagi-bagikan roti itu. Dia juga mengangkat sebuah cawan anggur yang besar. Setelah berdoa, Dia mengedarkan cawan itu kepada kami semua.

“Salah satu dari kalian akan menyerahkanKu.” Mendengar perkataanNya itu aku langsung marah.

“Tuhan, siapa orang itu?!” Dia hanya diam, sedangkan teman-temanku yang lain malah ribut sendiri. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang aneh pada diri Yudas Iskariot, salah satu temanku yang biasanya memegang keuangan kelompok kami. Aku sudah lama tahu kalau dia mengkorupsi uang kami. Namun aku tidak tahu apa alasan guru mengapa tidak menghukumnya.

“Kau tahu apa yang mau kau lakukan…lakukanlah segera.” kata guru tiba-tiba kepada Yudas. Lalu dia pun pergi keluar meninggalkan kami. Dia mulai mengajar kami lagi seperti yang sudah-sudah. Beberapa pengajaranNya membuatku bingung, seperti tempat di rumah Bapa dan Dia menyediakan tempat di sana. Apakah Dia mempunyai penginapan di suatu tempat yang tidak kami ketahui? Bisa saja khan, karena Dia selalu mempunyai kejutan.


“Guru, kemana Kamu pergi?” tanyaku ingin tahu.

“Saat ini, kamu tidak bisa pergi ke sana.”

“Apa? Kenapa? Padahal aku ingin mengikutiMu terus. Guru, aku ingin ikut denganMu dan melindungiMu selamanya. Aku serius! Aku bahkan berani mati untukMu.” kataku sambil mengepalkan tanganku.

Dia menggelengkan kepalaNya, “Kamu mau mati bagiKu? Si Batu Karang yang teguh itu…akan menyangkalKu tiga kali sebelum ayam berkokok pagi ini.” Saat itu juga, aku kehilangan tenagaku. Aku tidak percaya apa yang Dia katakan…atau bahkan aku tidak mau mempercayai kata-kataNya. Aku tidak akan pernah goyah sekalipun, tidak pernah. Tapi yang luar biasa dari Dia adalah…Dia tidak pernah putus asa. Tidak pernah putus asa terhadapku ataupun terhadap teman-teman yang lain, bahkan terhadap pelacur yang dulu mau dirajam sekalipun. Saat itu, tidak ada tatapan pesimis dalam mataNya. Sebaliknya, tatapan itu mau berkata, “Kamu bisa berdiri lagi…”


Sebuah ajaran yang sampai saat ini aku kenang adalah perintahNya untuk saling mengasihi…karena itulah pengajaran yang Ia sampaikan terakhir kalinya. Setelah itu Dia menghibur kami dengan menjanjikan Penghibur dan Penolong yang akan menyertai kami.


Guru mengajak kami semua pergi ke Taman Getzemani malam itu. Aku tahu Dia sangat sedih dan gentar. Namun Dia pernah berkata kalau Dia begitu mencintai kami, bahkan rela mati di salibkan. Sesampainya di sana, Dia menyuruh kami untuk duduk dan berjaga-jaga. Ia mengajak aku, Yohanes dan Yakobus untuk ikut denganNya sampai ke bagian dalam taman.

“HatiKu sangat sedih, seperti…mau mati rasanya. Tinggallah di sini…dan berjaga-jaga denganKu.” kataNya. Aku sungguh sedih saat itu. Tidak pernah aku melihat raut wajah guru yang sangat sedih dan…ketakutan. Pernah terlintas di pikiranku…mengapa Dia tidak mau menolak salib itu? Mengapa Dia harus mati untuk kami yang…yang penuh dengan dosa? Bahkan setitik darahNya…itu tidak layak untuk kami. Di tengah perenunganku, aku mendengar Dia berdoa dengan kata yang terpatah-patah dan nada yang gemetar. Sungguh malam itu adalah malam yang mencekam.

“Bapa, Bapa…kalau boleh…biar cawan ini…berlalu daripadaKu.” Kemudian Dia berhenti sejenak, “Tapi…bukan kehendakKu yang jadi, tapi kehendakMu.” lanjutNya. Karena begitu lelahnya, aku tertidur di sana. Doa tadi adalah kata-kata yang terakhir aku dengar dariNya.


“Tidak sanggupkah kamu berjaga-jaga denganKu?” Sayup-sayup aku mendengarkan suara guru. Mungkin pertanyaan itu ditujukan untukku, namun mataku terlalu berat untuk dibuka saat itu..

“Berjaga-jaga dan berdoalah supaya kamu tidak jatuh dalam percobaan karena roh itu penurut, tapi daging lemah.” Dan aku mendengar langkah kakiNya menjauh lagi dari kami. Aku pun terlelap tidur.

Suara langkah kaki yang mendekat kembali mengusik tidurku. Kelihatannya itu guru, namun Dia tidak berbicara apa-apa dan kembali berdoa lagi. Sungguh mata dan tubuhku terasa sangat berat malam itu…mungkin semua ini karena…atmosfir yang sangat berat saat itu.

Suara jangkrik dan belalang di tengah malam itu dihentikan dengan suara langkah orang banyak yang datang ke arah kami.


“Bangunlah…karena dia yang mau menyerahkan Aku sudah datang.” Dengan terkejut aku terbangun dari tidurku. Murid-murid yang lain juga terbangun dan berusaha untuk melindungi guru. Namun beberapa di antara mereka lari ketakutan karena melihat begitu banyaknya orang yang datang. Mereka membawa obor, pedang dan tombak serta senjata yang lain. Dan Yudas…ada di antara mereka.


Dia keluar dari kumpulan orang banyak itu dan mencium guru. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku segera melindungi guru.

“Siapa yang kau cari?” tanya guru kepada mereka. Tentu saja mereka mencari guru. Dan kemudian dia menjawab, “Akulah Dia. ” Saat guru menjawab, mereka mundur beberapa langkah dan terjatuh. Sungguh luar biasa…bahkan di saat akhir Dia masih mempunyai kekuatan. Di saat itulah aku mempunyai harapan kalau guru pasti bisa melawan mereka. Dia hanya perlu mengeluarkan beberapa patah kata dan mereka akan terpelanting semuanya.

“Ayo, guru, berkatalah lagi dan buat mereka semua terpelanting. Setelah itu kita pergi dari sini.” pikirku.

“Cepat! Tangkap Dia!” seru mereka. Salah satu hamba Imam Besar maju dan bersiap untuk menangkap guru. Dengan sigap, aku langsung mengeluarkan pedangku dan memotong telinga kanan hamba Imam Besar itu.

“AARRGGHHH!!!” teriak hamba itu.

“Malkhus, kau tidak apa-apa?” tanya seorang temannya. Namun karena kesakitan dia tidak dapat memberikan jawaban. Keadaan menjadi kacau balau. Hampir semua murid kabur melarikan diri. Namun aku tetap di sana bertekad untuk melindungi guru. Tapi diluar dugaanku, guru menyuruhku menyarungkan pedang dan malahan menyembuhkan hamba yang bernama Malkhus itu. Tentu saja setelah itu mereka menangkapNya. Saat melihat sekitarku, aku hanya melihat Yohanes, murid yang dikasihi guru. Sedangkan murid yang lain sudah kabur entah kemana. Aku teringat sekarang arti perkataannya saat itu…

“Waktunya akan tiba…saat gembala itu diambil dari antara dombanya. Domba-domba itu akan tercerai berai.”


Aku bersama dengan Yohanes mengikuti orang banyak itu. Mereka mengolok-olok guru. Beberapa bahkan meludahi Dia. Aku sungguh-sungguh sangat marah karena banyak di antara mereka adalah orang-orang yang dulu pernah mengelu-elukan Dia di depan pintu gerbang Yerusalem dan bersorak-sorak bagi Dia, menyebutNya raja. Tapi entah kenapa, kekuatanku terasa hilang. Mungkin aku merasa kecewa…karena ternyata semuanya tidak sesuai dengan perkiraanku. Guru padahal bisa melawan…tapi mengapa Dia tidak melawan? Saat itu, aku sudah tidak punya keberanian lagi.

Kami mengikutiNya sampai di tempat Hanas, mertua dari Kayafas yang merupakan Imam Besar saat itu. Yohanes mengikuti guru ke dalam istana Imam Besar karena dia mengenal Kayafas, sedangkan aku tetap berada di luar, di dekat pintu. Beberapa saat kemudian Yohanes memanggilku untuk masuk.

Saat aku masuk, ada seorang hamba perempuan di sana yang mengamat-amati aku.


“Lho, kamu juga salah satu murid orang itu khan?” katanya tiba-tiba. Saat itu hatiku langsung kacau. Ketakutan langsung mengalir di dalam darahku.

“Bu, bukan! Bukan aku!” sangkalku. Lalu aku pergi ke sisi lain dari istana itu. Karena hawa yang dingin saat itu, aku menghangatkan tubuh bersama dengan para penjaga Bait Allah. Imam Besar mulai menanyai guru. Hanya beberapa pertanyaan saja yang sempat aku dengar karena ada ketakutan di dalam hatiku. Aku benar-benar kacau hari itu.

PLAK! Sebuah suara tamparan membuatku tersadar dari ketakutanku.

“Begitukah jawabmu terhadap Imam Besar, ha?!” kata seorang penjaga setelah menampar guru.

“Kalau kata-kataKu salah, tunjukkan di mana salahnya. Tapi kalau kata-kataKu benar, mengapa kamu menamparku?” Guru masih sangat berwibawa saat menjawab penjaga itu. Sungguh Dia adalah orang yang tegar. Aku sangat malu terhadapNya. Kemudian mereka mulai membelenggu dan membawaNya ke Kayafas.

Aku masih berdiri di sana untuk menghangatkan tubuhku.

“Hei, kamu juga salah satu muridNya!” Aku kaget saat mendengar kata-kata itu. Ketika sadar, sudah ada banyak orang yang mengerumuniku.

“Bu, bukan aku! Ha, ha, ha, kalian semua ngawur!” seruku ketakutan. Seorang hamba Malkhus juga ada di sana dan membuat keadaan semakin suram.

“Ya! Aku melihatmu di sana! Kau yang memotong telinga kanan tuanku!” karena desakan mereka, aku berteriak keras.

“BUKAN! KALIAN SEMUA SALAH! ITU ORANG LAIN!! BUKAN AKU! AKU TIDAK PERNAH BERSAMA-SAMA DENGAN DIA!!”


Aku langsung menerobos kerumunan itu dan berlari keluar. Namun saat itu, aku berpapasan dengan guru. Aku berhenti sejenak. MataNya yang lembut penuh kasih menatapku saat ayam berkokok pagi hari itu. Hatiku langsung hancur saat mendengar suara ayam itu. Aku teringat akan perkataanNya kalau aku akan menyangkal Dia. Dengan menangis aku keluar dari ruangan itu dan meninggalkanNya. Sungguh aku sangat malu saat itu. Aku benar-benar tidak dapat melihat wajahNya lagi. Aku tidak punya keberanian lagi.


Ke mana angin membawaku pergi, ke sanalah aku melangkah. Sambil masih menangis, aku kembali mengingat kejadian-kejadian hebat yang dulu Ia lakukan. KasihNya yang luar biasa juga teringat kembali. Namun dari semuanya itu, yang paling membuat hatiku hancur adalah saat Dia memandangku dengan penuh kasih…bahkan saat aku menyangkalNya. Hancur bukan karena sakit hati, namun hancur karena aku begitu malu terhadapNya. Mengapa? Dia tahu kalau hal ini akan terjadi…tapi Dia tetap mempercayaiku. Dia bahkan memberiku nama Batu Karang…padahal tahu kalau aku akan mengkhianati Dia. Bukankah aku ini sama seperti Yudas Iskariot kalau begitu? Guru…Dia begitu percaya kepadaku.

Setelah matahari mulai terlihat di ufuk Timur, aku beristirahat dan duduk sejenak di bawah sebuah pohon yang besar.

“Maaf…maaf, guru. Aku begitu penakut…sekalipun aku pernah berkata aku akan membelaMu sampai mati…ternyata…” saat itu aku masih mengingat tatapanNya yang terakhir. Tatapan itu berkata… ”Kau telah melakukannya…tapi Aku tetap mengasihimu…”


Aku berdiam seorang diri di sana sampai ada orang-orang yang berteriak, “Salibkan Dia!”

“Ya! Bunuh saja, penghujat Allah itu!” Aku melihat ada keramaian tidak jauh dariku. Aku mulai melangkah untuk melihatnya. “I, itu guru.” Sungguh betapa ngerinya aku saat melihat tubuhNya yang hancur lebur. Kulit tubuhNya sudah terkoyak-koyak. Darah mengalir di mana-mana. WajahNya sudah…tidak berbentuk manusia lagi. Ada sebuah mahkota duri yang dipakaikan di kepalaNya. Mahkota itu berbentuk seperti helm, menutupi kepala bagian depan sampai ke leherNya. Duri yang sangat panjang terajut tidak beraturan dan banyak sekali. Dia berjalan dengan sempoyongan sambil membawa sebuah kayu yang besar. Aku mendengar beberapa orang yang kasihan kepadaNya berkata kalau mahkota duri itu sudah diberi racun dan duri-duri itu sangat panjang sehingga menusuk sangat dalam. Tidak tahan melihat penderitaanNya itu, air mataku pun mulai mengalir. Benar-benar ngeri. Kenapa mereka tega melakukannya?


******


Dengan diam-diam, aku mengikuti keramaian itu dari belakang. Di sepanjang jalan, hanya olok-olok yang terdengar. Ludah yang begitu banyak menempel di setiap lukaNya. Tapi dengan seluruh tenagaNya, dia tetap maju membawa kayu yang berat itu. Beberapa kali Ia terjatuh…bahkan setelah di tolong oleh Simon dari Kirene sekalipun. Kayu itu pasti sangat berat…bukan, bukan kayu itu…tapi penderitaanNya.


Setelah sampai di bukit Golgota, tempat di mana Dia akan disalibkan, mereka masih menyiksaNya. Para serdadu yang haus darah itu menelanjangi Dia dan mengundi pakaianNya. Namun itu saja belum memuaskan nafsu mereka. Mereka mengambil palu dan paku. Aku tidak pernah menyangka kalau mereka akan memaku tangan dan kakiNya. Kedua orang penjahat yang disalibkannya saja tidak dipaku, mengapa Dia, seorang yang benar, harus disiksa sampai harus dipaku?


Saat paku yang besar, panjang dan berwarna hitam itu menembus pergelangan tanganNya, Dia menjerit kesakitan. Namun dengan ketabahan hatiNya, Ia menahan sakitNya. Para serdadu itu benar-benar bukan manusia lagi. Mereka memperlakukanNya seperti…seekor binatang.


Saat semuanya sudah selesai dan salib sudah diberdirikan, mereka mengolok-olok Dia. Mereka bahkan memberi anggur masam saat Dia meminta air karena haus. Saat aku melihat salib itu…aku tahu…seharusnya akulah yang ada di sana. Dia di sana…karena dosa-dosaku. Tidak pernah aku bisa memikirkan harga yang terbayar untuk menebus dosaku ini. Aku berlutut saat itu karena tidak dapat melakukan apa-apa. Semuanya Dia lakukan…semua sudah dilakukannya.


Aku tidak akan pernah tahu seberapa besar kesepian dan ketakutanNya. Saat-saat itu, semua muridNya meninggalkan dia. Orang-orang yang mengelu-elukan Dia berkhianat terhadapNya…bahkan Bapanya sendiri…meninggalkan Dia. Sungguh mengerikan apa yang telah dia alami. Namun dengan setia dia melakukannya, “Sudah selesai.”

Sebelum menghembuskan nafasnya, Dia berteriak kepada Bapa untuk mengampuni orang-orang yang menyiksa dan menyalibkanNya. Benar-benar seorang pribadi yang tidak pernah mementingkan kepentinganNya sendiri, tetapi selalu merendahkan diri. Di akhir hidupNya pun masih berdoa buat mereka yang menyalibkanNya …Sungguh Dia adalah pribadi yang mulia.


Ketika Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, terjadi gempa yang dahsyat, seakan-akan…Bapa di surga berteriak melihat penderitaan anakNya…dan seluruh penghuni surga menangis saat itu. Bersamaan dengan itu, tirai kenisah di Bait Allah robek menjadi dua. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu berkata bahwa Dia itu benar-benar Anak Allah.

Setelah keadaan kembali normal, Yusuf dari Arimatea bersama dengan beberapa orang meminta tubuh guru untuk dikuburkan di sebuah kubur batu yang masih baru. Aku kira sudah selayaknya Dia dikuburkan di sebuah tempat yang baru, yang masih belum dipakai oleh siapapun. Hari itu adalah hari yang sangat berat bagi kami semua yang mengasihiNya…hari dimana setiap dombaNya bercerai-berai.


******


Tiga hari telah berlalu sejak kematian guru. Dengan ketakutan dan gentar, kami selalu menunggu di rumah yang sama ketika kami melakukan perjamuan malam terakhir. Entah apa yang kami nanti…kami sama sekali tidak tahu…sampai hari itu datang.

“Gawat! Ada masalah! Ku, kubur guru…kos, kosong!” seru beberapa orang wanita yang tiba-tiba saja datang ke rumah kami. Aku dan Yohanes langsung berdiri dari tempat kami dan pergi ke kubur guru. Yohanes berlari lebih cepat daripadaku sehingga dia sampai terlebih dulu. Apa yang dikatakan oleh perempuan-perempuan tadi benar. Kubur guru benar-benar kosong. Kain kafan yang dipakai tadinya sudah terlihat terlipat rapi. Kami berdua sangat bingung apa yang terjadi.


Tidak dapat melakukan apa-apa, kami pulang ke rumah. Di tengah perjalanan kami mendengar berita palsu yang mengatakan kalau kami mencuri tubuh guru. Bagaimana mungkin kami melakukan hal itu? Pasti ini dusta Mahkamah Agama. Hati kami terasa pedih karena kehilangan guru. Di rumah, murid-murid yang lain telah menanti penjelasan dari kami. Pembicaraan kami dikagetkan lagi oleh seorang wanita. Kali ini dia yang datang.


“A, aku…aku, aku melihat Dia!” seru Maria Magdalena, pelacur yang diampuni dosanya oleh guru dan menjadi muridNya. Kami semua bingung dengan apa yang dia katakan.

“Melihat dia? Siapa?” tanya seorang murid.

“Gu, guru! Aku melihat guru!” jawabnya lagi. Beberapa orang yang mendengarnya langsung ketawa. Ada beberapa lagi yang bingung. Aku sendiri tidak percaya padanya. Baru saja aku pergi ke kuburNya dan hanya melihat kain kafan yang terlipat rapi.

“Dia mengatakan padaku kalau Dia mau pergi ke BapaNya dan Bapa kita…AllahNya dan Allah kita. Kalian tahu maksudNya?” katanya lagi. Semuanya hanya melongo.

“DIA BANGKIT!!!” Saat itu hatiku tersentak. Aku baru ingat akan setiap perkataanNya mengenai kebangkitan Anak Manusia.


Apakah ini…

Maria Magdalena menceritakan segala sesuatu yang dikatakan oleh guru saat itu. Ada beberapa orang yang percaya, namun ada juga yang masih belum percaya. Bagaimanapun juga, kami sangat merindukan guru.

Di suatu malam yang tenang, ketika sedang makan malam, kami sangat dikejutkan oleh suatu sosok yang sangat kami rindukan. Guru datang malam itu. Saat itu juga, atmosfir ketakutan dan kegentaran hilang digantikan dengan sukacita yang…wow! Sulit untuk diceritakan. Guru selalu membawa damai sejahtera ke manapun Ia pergi. Malam itu menjadi malam yang sangat menyenangkan bagi kami. Beberapa kali lagi Dia datang kepada kami, termasuk kepada dua orang teman kami yang sedang dalam perjalanan ke Emaus.


Dari semua itu, ada hari yang sangat berkesan dalam hatiku. Jika hari itu tidak ada, mungkin aku pun sudah menyerah. Hari itu, aku bersama dengan Yohanes, Yakobus, Tomas, Natanael dan beberapa orang murid yang lain sedang mencari ikan di Danau Tiberias. Sampai hari itu aku masih teringat akan penyangkalanku terhadap guru. Aku masih belum dapat melupakan masa lalu yang sungguh membuatku malu dan tidak layak berhadapan denganNya. Sekalipun aku telah melihat Dia bangkit, tetapi perasaan bersalah ini masih terus ada.


Lagi-lagi kami tidak mendapatkan apa-apa. Entah ke mana larinya ikan-ikan di danau itu. Sudah dari malam kami mencari, tapi tidak mendapatkan ikan satupun. Ketika kami sudah menyerah, karena hari sudah semakin siang, ada seorang pria yang berteriak dari pantai.

“HHOOII!!! Anak-Anak!!! Kalian punya lauk, tidak?” seru pria itu. Orang aneh pikirku. Apa dia tidak melihat perahu kami yang kosong melompong ini. Spontan kami berkata tidak ada ikan pada kami.

“Kalau begitu, lemparkan aja jalamu ke sebelah kanan perahu. Nanti khan dapat!” serunya lagi. Semuanya hanya bingung, tetapi jantungku kembali berdetak keras. Lagi-lagi perasaan ini. Perkara besar yang dilakukan guru…selalu seperti ini. Tanpa komentar lagi, aku melemparkan jalaku ke sebelah kanan. Hatiku kembali meledak ketika aku hampir jatuh karena menarik jala yang penuh dengan ikan. Teman-teman yang lain segera menolongku. Hari itu kami menangkap seratus lima puluh tiga ekor ikan besar. Menurut para nelayan, di daerah itu ada seratus lima puluh tiga jenis ikan…dan hari itu, kami menangkap raja-raja ikan tersebut. Sungguh dahsyat!


“ITU GURU !!!” seru Yohanes sambil menunjuk ke arah pria itu. Aku langsung menoleh ke arahnya dan dengan jelas aku melihat wajah guru yang memancarkan kasih itu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, hanya kesenangan yang meluap dalam hatiku. Dengan cepat aku mengambil pakaianku dan terjun berenang sampai ke pantai. Murid-murid yang ada di kapal segera mengikutiku.


Kami semua hanya terdiam saat itu. Kesenangan dalam hatiku pun menjadi semakin pudar karena aku mengingat akan dosaku yang lalu. Namun seakan-akan tidak terjadi apa-apa, Dia mengajak kami semua duduk dan makan di sana. Dia mengambil beberapa ikan yang kami tangkap dan memberikannya kepada kami beserta roti yang ada padaNya. Inilah saat-saat Dia memulihkan aku dari bayangan masa lalu.

“Simon, anak Yohanes…apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” tanyaNya dengan lembut. Aku sangat terkejut dengan pertanyaanNya itu. Di satu sisi aku berpikir kalau-kalau Dia masih mengingat akan dosa penyangkalanku dulu..tapi di sisi lain, sorotan mataNya yang penuh cinta itu menunjukkan kasihNya padaku…tidak mungkin Dia masih mengingat dosaku yang dulu.

“Benar, Tuhan…Engkau tahu aku mengasihiMu.” jawabku dengan pasti.

“Gembalakan domba-dombaKu.” kataNya lagi. Aku hanya terdiam. Bagaimana mungkin aku menggembalakan domba-dombaNya? Aku sudah mengkhianati Dia.

“Simon, anak Yohanes…apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” tanyaNya lagi. Di dalam setiap pertanyaanNya tidak ada nada pesimis atau ragu sama sekali.

“Benar, Tuhan…Engkau tahu kalau aku mengasihiMu.” jawabku lagi.

“Gembalakan domba-dombaKu.” kataNya yang kedua kali. Di luar dugaanku, Dia bertanya yang ketiga kali.

“Simon, anak Yohanes…apakah Engkau mengasihi aku?” Maka sedihlah hatiku karena sangat berat bagiku untuk mengatakan kata ‘benar’ sedangkan aku masih mengingat akan masa laluku di mana aku telah menyangkal Dia. Tetapi dengan segenap hati, aku tetap berkata kepadaNya.

“Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu. Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

“Gembalakanlah domba-dombaKu.” Aku tidak menyangka kalau itu yang akan dikatakanNya lagi. Padahal tadinya aku mengira kalau Dia akan menyindirku dengan mengatakan tentang penyangkalanku. Dia sungguh baik dan pengampun. Dia tidak pernah mengingat-ingat lagi dosaku. Bahkan Dia sangat mempercayaiku sepenuhnya…dengan mempercayakan domba-dombaNya kepadaku. Saat itu juga, rasa bersalahku hilang dan kekuatanku mulai pulih. Ya! Aku akan menggembalakan domba-dombaMu…sampai akhir hayatku.


Tidak terasa, empat puluh hari kami lalui. Guru sering menampakkan dirin dan mengajar kami tentang kebenaran firman Tuhan. Hari yang agung itupun tiba. Dia akhirnya naik ke surga. Ada kurang lebih lima ratus orang yang melihat kenaikanNya itu. Sungguh luar biasa. Dia Tuhan yang hidup…Dia bangkit dan naik ke surga.

Sepuluh hari penantian kami akan janjiNya, yaitu seorang Penolong yang lain, pun tiba. Roh Kudus itu turun dan memberi kekuatan pada kami semua. Malam itu juga kami keluar dengan semangat yang berkobar-kobar, memberitakan tentang apa saja yang kami ketahui tentang guru. Banyak orang bertobat dan menjadi murid guru. Jumlah murid pun semakin lama semakin bertambah. Sekalipun banyak rintangan yang menghadang, kami tetap setia pada guru. Cinta kasihNya yang luar biasa buat kami…itu yang membuat kami berani menderita…bahkan mati bagiNya. Dia telah setia kepada kami, kami pun sudah selayaknya setia kepadaNya.


Di saat-saat akhir hidupku ini…aku masih mengingat pengampunanNya yang tidak pernah habis. Waktu itu masa pemerintahan kaisar Nero di Roma. Suatu malam, dia membakar kota Roma dan menuduh orang Kristen yang melakukan pembakaran itu. Oleh karena itu, dia mulai mengejar, menangkap dan bahkan membunuh kami semua.

Para serdadu Kaisar Nero akhirnya sampai di tempat di mana aku berada. Mereka sudah akan masuk untuk menangkapku. Aku tahu…saat kematianku sebagai martir sudah dekat. Tapi beberapa murid membujukku untuk segera melarikan diri melalui catacomb, sebuah jalan di bawah tanah.


“Tuhan akan memberkati kebaikan hati kalian, tapi kalian tidak sadar kalau guru sendiri yang berkata tiga kali kepadaku, ‘Gembalakanlah domba-dombaKu.’” kataku menolak ajakan mereka. Aku tahu mereka semua mengkhawatirkanku. “Aku tidak bisa meninggalkan domba-dombaku di saat masalah menghadang. Saat badai datang di danau waktu itu dan kita semua ketakutan, guru tidak membiarkan kita. Lalu sekarang, mengapa aku harus meninggalkan domba-domba yang telah dipercayakanNya kepadaku?” lanjutku.

Namun beberapa murid terus membujukku termasuk Paulus yang saat itu termasuk orang yang disegani di antara kami. Aku pun akhirnya pergi melarikan diri.

Aku melarikan diri dari kematian sebagai martir…tidak lagi ingat akan janjiku. Tapi di tengah perjalanan, aku melihat sebuah cahaya terang yang turun dari langit, seperti sebuah lingkaran emas matahari. Cahaya itu bergerak ke arah kami.

“Apa kamu lihat cahaya itu, Nazarius?” tanyaku pada Nazarius yang saat itu menemaniku.

“Ti, tidak. Aku tidak melihat apa-apa.” jawabnya sambil melihat ke sekitar kami.

Aku mengusap-usap mataku karena cahaya itu mulai berubah menjadi sebuah sosok manusia.

“Ada seseorang yang mendekati kita.” kataku lagi.

“Hm…tidak ada suara langkah kaki…tapi memang aneh. Aku melihat pohon-pohon di sana bergerak-gerak…seolah-olah ada yang menggerakkannya.”


Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Mataku sudah agak rabun saat itu karena usiaku sudah lanjut. Tetapi saat sosok itu semakin dekat, aku melihatnya dengan jelas. Mata yang penuh dengan kasih…itu…guru.

Tongkat yang aku pegang jatuh dari tanganku. Mulutku ternganga. Hatiku dipenuhi dengan perasaan terkejut namun juga bahagia. Aku langsung berlutut saat itu dan menyembah Dia, meskipun aku tidak berani menatap mukaNya lebih lama. Lalu Dia berjalan melewati aku.

“Domine…quo vadis? Tuhan…kau mau ke mana?” tanyaku sambil berbalik memandangNya.

Dia berbalik memandangku. Di telingaku terdengar suara yang sedih namun sangat manis dan lembut, “Kau melupakan dan membiarkan umatKu…karena itu, Aku akan kembali ke Roma…untuk disalib kedua kali.”

Saat itu hatiku kembali hancur. Aku merasa sangat bersalah saat itu. Tiba-tiba saja, semua perkataanNya kembali terngiang dalam pikiranku. Penyangkalanku yang dulu, “Aku tidak kenal dia !!! Aku tidak kenal dia !!! Aku tidak kenal dia !!!” dan pengampunannya padaku, “Apakah kau mengasihiKu? Gembalakanlah domba-dombaKu. Apakah kau mengasihiKu? Gembalakanlah domba-dombaKu. Apakah kau mengasihiKu? Gembalakanlah domba-dombaKu.”

Air mata penyesalan pun mengalir. Aku membungkukkan diriku sampai wajahku mengenai tanah. Aku sangat tidak berguna. Kenapa aku harus takut lagi? Setelah apa yang Ia lakukan untukku? “ARRRGGHH!!! Tuhan, ampuni aku…!!!” Aku teringat akan perkataanNya, “Seorang gembala yang baik membaringkan domba-dombanya di padang yang hijau.”

Sesaat aku berdiam di sana. Setelah kekuatanku kembali, aku mengambil tongkatku dan berjalan kembali.

“Domine…quo vadis? Tuan…Anda mau ke mana?” tanya Nazarius yang bingung.

“…ke Roma.” kataku dengan suara pelan.

Di sinilah akhir hidupku. Waktuku sudah tiba. Besok aku akan dihukum mati…disalib seperti guru. Namun aku berkata pada hakim saat itu supaya aku disalib terbalik…karena aku tidak layak mati seperti guru. Takut dan gentar memang ada dalam hatiku, tapi guru pun pernah mengalaminya. Seorang murid…tidak pernah melebihi gurunya.

Banyak orang yang mengenal aku sebagai orang yang takut dan bingung tetapi taat pada akhirnya. Sampai kini aku tidak pernah menyesal menjadi muridNya.


Dia tidak pernah menyerah terhadapku. Thank you, Jesus Christ, you are my lovely Prince.


THE END


My Lovely Prince - Peter's Story

Dia bukan sebuah mitos seperti Hercules, Zeus ataupun Odin. Bukan juga legenda yang hanyalah isapan jempol buatan masyarakat. Kalau aku boleh katakan secara pribadi, Dia adalah…bagian dari hidupku, udara yang aku hirup setiap saat. Namun secara umum, aku katakan Dia adalah sebuah sejarah yang terindah…bukan, bukan terindah, tetapi teragung.

Ya, yang teragung. Kurasa kata indah saja kurang untuk mendiskripsikan diriNya.
PenampilanNya sederhana, namun penuh dengan karisma. Aku baru kenal dengan Dia setelah aku ikut dan hidup bersama-sama dengan Dia sebagai muridNya.

“Ah, kenapa dari kemarin kita ngga dapat ikan, ya?” kataku kesal. Waktu itu aku sedang berlayar mencari ikan di pantai bersama Andreas saudaraku. Semalaman kami sudah berlayar ke tengah lautan, namun tidak ada hasil sama sekali. Sekarang matahari sudah bersinar terang dan angin laut pun mulai membawa perahu kami ke daratan. Kalau menurut perkiraanku, seorang nelayan yang berpengalaman, kami tidak akan mendapatkan ikan jika matahari telah meninggi, atau paling tidak sangat sulit. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk menepi ke pantai dan mencuci jala kami. Mencuci jala bukanlah pekerjaan yang aku senangi mengingat aku ini orang koleris yang tidak sabar. Teman-temanku sering berkata padaku kalau aku selalu bicara sebelum berpikir terlebih dahulu, bahkan saat mengambil keputusan yang penting sekalipun. Yah, itulah aku.

Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahuku. Dengan senyuman yang ramah, pria itu bertanya apakah Dia boleh meminjam perahuku. Aku sangat terkejut ketika aku melihat begitu banyak orang yang ada di belakangNya.

“Wow, apa yang mau Dia lakukan? Jangan-jangan Dia mau melarikan diri dengan perahuku.” pikirku. Namun tatapan mataNya yang sangat hangat itu menghapus pikiran jelekku. Dengan segera aku mengangguk dan mempersiapkan perahu. Entah apa yang dipikirkan oleh Andreas, dia membawa jala yang tengah kami bersihkan tadi. Mungkin saja insting nelayan.

Akhirnya kami kembali berlayar. Setelah berlayar beberapa meter dari pantai, Dia menyuruhku menghentikan perahu. Aku pun membuang sauh. Dia menghadap ke arah orang banyak di pantai dan mulai mengajar mereka dengan hikmat yang luar biasa. Satu persatu dari orang banyak itu mulai duduk. Mereka sangat menikmati pengajaranNya. Aku memang sudah pernah mendengar tentang Dia. Orang-orang sering memanggilNya rabbi atau guru. Hikmat kebijaksanaan dan karismaNya yang sangat luar biasa itulah yang dapat membuat orang banyak senang mendengarkan ceritaNya. Bahkan ada orang yang berkata bahwa Dia berbeda dengan ahli-ahli Taurat di jaman itu. Dia mengajar dengan penuh kuasa dan hikmat. Beberapa orang yang waktu itu sempat dibaptis oleh Yohanes Pembaptis pernah menyaksikan seekor burung merpati yang sangat putih dan terlihat bersinar turun ke atasNya. Saat itulah terdengar suara yang menyatakan bahwa Dia adalah anak yang berkenan kepada Bapa. Yohanes Pembaptis pun bahkan pernah berkata, “Membuka tali kasutNya pun aku tidak layak.” Padahal Yohanes Pembaptis adalah salah satu tokoh terkenal saat itu.

Mungkin apa yang mereka katakan itu benar, tapi aku belum begitu percaya kepadaNya. Aku hanyalah nelayan biasa yang hanya tahu hal-hal sederhana. Siapa itu Bapa? Siapa itu Anak? Kalau burung merpati biasa aku tahu, tapi kalau burung merpati putih bersinar…aku tidak tahu.
Dia juga seorang yang penuh kejutan. Sama seperti saat itu, ketika kami sudah berhenti beberapa meter dari perahu, Dia mulai mengajar. Ternyata Dia memakai angin laut untuk membawa suaraNya ke arah pantai, sehingga orang banyak itu bisa mendengar suaraNya. Sungguh luar biasa.

Tapi itu belum seberapa. Yang lebih mengejutkanku adalah kejadian setelah Dia selesai mengajar dan orang banyak itu telah pergi meninggalkan kami. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat-lihat perahu kami seakan-akan Dia bertanya kenapa tidak ada ikan di kapal ini.
“Kalian ngga bekerja ya? Kok tidak ada ikan sama sekali di perahu kalian?” TanyaNya kepadaku dan Andreas.

“Guru,” kataku menyebutNya guru, mengikuti bagaimana orang banyak memanggil Dia, “Kami sudah bekerja semalam suntuk, tapi tidak ada ikan yang masuk ke jala kami sama sekali.” Dia hanya tersenyum dan melangkah ke sisi kanan kapal.

“Hei, lihat! Ada banyak ikan di sebelah sini lho!” kataNya dengan nada gembira. TanganNya menunjuk ke air dan wajahNya bersinar-sinar. Aku sempat berpikir, apakah Dia mau mempermainkan aku? Aku, seorang nelayan yang hebat, saja tahu dengan pasti kalau tidak mungkin ada ikan di siang bolong seperti ini. Entah itu di sisi kanan ataupun kiri, bukan itu masalahnya. Apalagi Dia bukan seorang nelayan.

“Cepat! Tebarkan jalamu di sebelah sini!” kataNya lagi. Karena aku merasa segan, aku mulai mengambil jalaku dan menebarkannya di sebelah kanan perahuku seperti yang Dia katakan. Setelah satu atau dua detik, jalaku mulai bergerak-gerak. Saat itu jantungku berdetak cepat. Aku sendiri tidak tahu mengapa. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Aku tahu, sesuatu yang besar akan terjadi.
Tiba-tiba, jala itu menjadi sangat berat.

“Andre! Andreas! Bantu aku cepat! Aku tidak kuat lagi nih!” seruku pada Andreas. Dia langsung bergegas membantu aku. Kami berdua sangat kewalahan menarik jala kami. Jala itupun sudah hampir robek. Saat jala itu terangkat sedikit dari permukaan air, mata kami sangat terpukau dengan ikan-ikan yang kami tangkap. Ada ratusan dan semuanya ikan besar.

“Wow! Luar biasa! Luar biasa!” seru Andreas yang terus berusaha mengangkat jala. Perahu kami hampir terguling karena ikan-ikan itu. Teman-teman kami yang masih berada di pantai langsung membawa perahu mereka mendekati perahu kami. Mereka memenuhi perahu mereka dengan wajah yang gembira namun juga bercampur heran akan kejadian hari itu. Setelah keadaan dapat dikendalikan, aku langsung merasa bersalah kepadaNya. Berlutut, aku berkata:
“Tuhan, pergilah daripadaku. Aku ini orang yang berdosa.” Aku sangat menyesal telah meragukan setiap perkataanNya. Namun dengan tersenyum, Dia memegang tanganku dan membantuku berdiri. Dia tertawa dan merangkulku.

“Wow! Kita akan makan besar hari ini!” kataNya kepadaku seolah-olah Dia sudah mengenalku sejak kecil. Aku memaksakan diri tersenyum dan masih terkagum-kagum padaNya. Akhirnya kami menepi ke pantai dengan perahu yang hampir tenggelam karena begitu besar hasil yang kami peroleh hari itu.

“Wah, luar biasa! Kita bisa kaya kalo setiap hari seperti ini!” seru Yakobus, salah satu temanku.
“Ya! Apalagi ikan besar seperti ini pasti bisa dijual mahal!” sambung Yohanes saudaranya.
“Ha, ha, ha, ha, ayo kita pesta malam ini!” sahut Andreas bergabung dengan kegembiraan mereka.

Itulah yang dikatakan mereka. Aku sendiri tidak begitu heboh saat itu. Aku masih terkagum-kagum akan Dia. Ternyata Dia lebih hebat daripada kabar yang pernah aku dengar. Semuanya – karisma, kasih, kelembutan, keramahan dan senyumanNya. Pokoknya luar biasa…dan ini aku lihat sendiri dengan mata yang ada di kepalaku.
Aku berjalan menyusuri pantai menjauhi keramaian karena ingin menenangkan diriku sejenak. Di saat aku akan duduk di sebuah pondok, Dia memanggil namaku. Ternyata Dia mengikutiku. Dia langsung duduk di pondok itu.

“Kenapa? Nggak ikut pesta? Teman-temanmu senang, lho.” kataNya kepadaku.
“Nggak kok, aku cuma ingin menenangkan pikiranku dulu.” balasku sambil duduk di sebelahNya.
“Apa ada masalah?” tanyaNya lagi.
“Aku tahu dengan insting dan pengalaman nelayanku, kalau nggak mungkin ada ikan sebanyak itu di siang hari. Bahkan di malam hari pun, nggak akan pernah kami mendapatkan ikan sebanyak itu. Aku tahu, tadi itu bukan usaha dan pekerjaanku. Itu pasti Kamu. Iya khan?” Dia hanya tersenyum.
“Ya…hmm, nggak ada yang mustahil bagi Tuhan, khan?” kataNya sambil mengangkat bahunya. Aku hanya terdiam saat tanganNya merangkul pundakku.
“Ayo ikut aku. Aku akan jadikan kamu…seorang penjala manusia.” Dia kembali tersenyum.
“Penjala manusia?” tanyaku kepadaNya. Aku sungguh tidak tahu apa yang dimaksudkannya. Dia membalas pertanyaanku dengan anggukan.
“Mungkin kamu belum mengerti maksudku sekarang, tapi suatu saat nanti kamu akan ngerti, bahkan lebih dari mengerti.”
Belum sempat aku bertanya lagi, Andreas berlari ke arah kami.
“Hei! Apa yang kalian lakukan?” tanyanya sambil terengah-engah. Nafasnya terputus-putus.
“Kami baru cari udara segar kok. Habis di sana baunya ikan. Ha, ha, ha, ha!” kataNya tertawa. Dia memegang pundak Andreas dan mengajukan pertanyaan yang sama.
“Andre, bagaimana kalau kau ikut Aku juga? Dia juga baru saja setuju ikut denganKu.” lanjutNya sambil merangkul pundakku. Aku masih bingung kapan aku berkata ya kepadaNya. Namun sebelum selesai berpikir, Andreas sudah memberi jawaban kepadaNya.
“Ya! Tentu saja! Apalagi kalau dia ikut.” jawabnya dengan gembira.
“Bagus! Siap-siap berangkat ya!” kataNya lagi. Dia berdiri dan melihat ke arah Yakobus dan Yohanes. Sambil mengatupkan kedua tanganNya di mulut, Dia berteriak.
“Hoi! Yakobus! Yohanes! Ayo ke sini! Kita pergi sama-sama!” Dengan wajah yang gembira, mereka berlari ke arahNya. Karena semuanya sudah berkumpul, kami pun berangkat. Sejak saat itu, kami berempat menjadi muridNya.
Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya kalau Dia mau menjadi guru kami. Padahal dulu aku berpikir kalau hidup kami ini biasa saja dan tidak ada yang spesial dari kami.
“Justru karena itulah Aku datang kepada kalian semua…untuk memberikan kalian…sesuatu yang spesial, sehingga hidup kalian pun menjadi spesial.” kataNya di suatu malam saat kami makan bersama. Kata-kata itu…tidak akan pernah aku lupakan. Sungguh sebuah kata-kata yang sangat memberikan semangat buatku.

Semakin lama aku mengikutiNya, semakin senang aku berada di dekatNya. Dia sering bercerita tentang hal-hal yang sangat menarik. Dengan perumpamaan-perumpamaan, Dia menjelaskan banyak hal kepada kami. HikmatNya sungguh luar biasa dan kami selalu menikmati setiap cerita dan ajaranNya.

******

Suatu saat, Dia diundang ke sebuah pesta perkawinan di Kana. Orang yang hadir saat itu sangat banyak karena mempelai berdua adalah orang yang cukup kaya. Guru mengajak kami dan ibuNya, Maria. Kami semua sangat menikmati pesta tersebut. Anggur yang istimewa pun menjadi minuman kami selama pesta berlangsung.

Di tengah pesta, saat aku sedang bercakap-cakap dengan beberapa temanku yang juga diundang, tidak sengaja aku mendengar percakapan seorang pelayan dengan ayah mempelai pria.
“Tuan, persediaan anggur…sudah habis. Bagaimana ini?” kata pelayan itu ketakutan. Suaranya sangat pelan.
“Apa? Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya ayah mempelai pria itu.
“Maaf, Tuan…kami salah perhitungan. Tamu yang datang ternyata di luar dugaan kami.”
“Waduh sekarang bagaimana lagi ya?” kata tuan itu. Dia lalu pergi ke arah dapur. Guru kelihatannya tahu akan hal itu, tapi anehnya Dia tetap meneruskan percakapanNya dengan seorang tamu di sana. Tidak lama setelah itu Maria, ibuNya, mendekat dan berbisik di telingaNya. Keduanya pun segera pergi ke arah dapur. Wajah Maria terlihat khawatir dan bingung. Karena penasaran, aku mengikuti mereka berdua, kalau-kalau ada yang bisa aku bantu, pikirku.

“Nak,” kata Maria pelan, “Mereka kehabisan anggur.” Ternyata memang benar. Mereka kehabisan persediaan anggur. Di dalam adat kami, kehabisan anggur dalam pesta perkawinan adalah hal yang memalukan. Entah bagaimana hal ini terjadi, padahal mereka adalah orang kaya dan terpandang di daerah ini. Tetapi yang membuatku terkejut malahan jawaban guru kepada Maria.

“Lalu, apa yang kau ingin Aku lakukan, Bu? WaktuKu belum tiba.” kataNya pelan ke arah telinga Maria. Aku tidak begitu tahu maksud ‘waktuKu belum tiba’, tapi…bukankah tidak sopan menolak permintaan seorang ibu? Ada satu pertanyaan lagi yang mengganjal pikiranku…mengapa Maria malah mengatakan hal ini kepada guru? Ah, aku bingung, benar-benar bingung.

“Kalian semua, turuti apa yang dikatakanNya.” kata Maria kepada para pelayan itu tiba-tiba. Ada apa lagi ini? Apa yang ada di dalam pikiran Maria? Dan apa yang dilakukan guru? Aku meletakkan gelasku yang dari tadi masih aku bawa dengan mata tetap mengamati mereka. Guru pun mulai melihat ke sekeliling ruangan dapur tersebut. Jantungku mulai berdebar-debar. Peristiwa di pantai dulu kembali melintas dalam pikiranku. CaraNya melihat-lihat saat ini sama persis dengan kejadian di danau. Aku mempunyai perasaan…kalau sesuatu…ya, sesuatu yang besar akan terjadi lagi di sini. Aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat apa yang akan terjadi.
“Cepat kumpulkan tempayan-tempayan itu ke sini.” kataNya kepada para pelayan itu.
“Tapi…itu tempayan untuk upacara pembasuhan kaki…masa harus…” kata seorang pelayan bingung. Namun dia langsung menghentikan kata-katanya setelah melihat Maria yang mengangguk padanya seakan-akan berkata, “Turuti saja apa yang dikatakanNya.”

Lalu guru menyuruh mereka untuk mengisi tempayan-tempayan itu penuh dengan air. Saat semua sudah selesai, Dia menyuruh salah seorang untuk mencedoknya dan memberikannya kepada pemimpin pesta. Setelah beberapa saat, masih belum ada satu pelayan pun yang bergerak untuk mencedok air itu. “Ha, ha, ha, Tentu saja tidak ada yang mau,” pikirku sambil tertawa dalam hati, “Guru ini ada-ada aja. Itu khan tempayan untuk pembasuhan, siapa yang mau mencedok airnya dan memberikannya kepada pemimpin pesta. Bisa-bisa malah kena marah habis-habisan.”

Di tengah tawaku itu, aku tidak sadar bahwa dari tadi Dia melihatku terus. Aku baru sadar saat tanganNya melambai-lambai padaku, memberi isyarat supaya aku mendekat kepadaNya. O, o…ternyata dari tadi Dia sudah tahu kalau aku berada di sana. Aku keluar dari tempat persembunyianku dengan tersenyum.

“Guru?” tanyaku dengan ragu-ragu. Aku tahu apa yang akan dikatakanNya. Dengan senyumNya yang manis, Dia menggerakkan kepalaNya ke arah tempayan itu, memberikan isyarat kalau Dia meyuruhku mencedok dan meminum air itu. “Ahh! Kenapa harus aku? Itu, itu khan tempayan pembasuhan…??!!” pikirku. Dengan gemetaran aku mulai mencedok air itu. Sesekali aku melihat ke arah wajahNya…siapa tahu Dia menyuruhku berhenti. Tapi bukannya itu yang terjadi, Dia malah tersenyum padaku sambil manggut-manggut. Ya sudahlah pikirku, paling-paling cuma sakit perut saja.

Bersamaan dengan masuknya air itu ke dalam mulutku, lidahku merasakan sebuah sensasi yang sangat luar biasa. Air itu…telah berubah menjadi anggur. Aku, aku tidak percaya pada waktu itu. Aku kembali mengambil secedok lagi dan meminumnya kembali. Ternyata benar! Air itu berubah menjadi anggur, bahkan air anggur yang sangat harum. Dengan santai Dia merangkul aku yang masih kebingungan dan mengajakku keluar dari dapur. Sebelum keluar, Dia berkata lagi pada para pelayan itu untuk memberikan air di tempayan-tempayan itu kepada pemimpin pesta. Mungkin karena mereka melihat ekspresiku, mereka langsung membawa tempayan-tempayan itu kepada pemimpin pesta. Saat pemimpin pesta mengecap air yang sudah berubah menjadi anggur itu, wajahnya berseri-seri. Dia langsung berlari mendapatkan mempelai pria.

“Wow! Perkawinan ini luar biasa! Biasanya, orang menghidangkan anggur yang baik terlebih dulu, baru yang kurang baik ketika orang-orang sudah puas minum. Tapi di sini…sampai sekarang kamu masih menyediakan anggur yang sangat baik. Ha, ha, ha, memang benar-benar pesta orang kaya.” kata pemimpin pesta itu sambil tertawa lebar, sedangkan mempelai pria hanya melongo tidak tahu apa-apa…namun tetap saja ikut tertawa dengan pemimpin pesta tersebut. Guru yang melihat mereka hanya tersenyum. Setelah pesta selesai, kami pulang bersama-sama.

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan peristiwa tadi. Aku tidak menyangka kalau ternyata Dia peduli dengan mereka. Tadinya aku kira Dia tidak akan menolong mereka, bahkan saat ibuNya telah angkat suara. Tapi ternyata semuanya salah dan aku mulai menyadarinya saat Dia mulai melihat sekeliling dapur itu. Sungguh luar biasa. Dia orang yang penuh dengan kejutan.

******

Selain itu, Dia juga orang yang senang melakukan hal-hal yang mungkin bisa dikatakan oleh orang luar aneh. Tapi bagi kami, apa yang Dia lakukan sudah tidak aneh lagi. Salah satunya caraNya menyembuhkan orang, selalu saja metodenya berbeda-beda. Aku paling suka saat Dia menyembuhkan seseorang yang buta matanya dengan pasir yang diaduk dengan ludahNya. Sudah begitu, orang buta itu masih disuruh membasuh dirinya lagi. Kenapa harus repot-repot?

Padahal dulu Dia juga pernah menyembuhkan orang kusta hanya dengan perkataanNya saja. Pernah juga Dia menyembuhkan seorang yang tuli dan gagap. Dia memasukkan jariNya ke telinga orang itu dan kemudian meludah serta meraba lidah orang itu. Aku tidak pernah tahu mengapa Dia harus meludah segala, tapi yang pasti, setelah Dia berkata, “Efata!” yang artinya terbukalah, orang itu sembuh dengan ajaib. Kok bisa? Selalu ketika pertanyaan itu muncul dalam hatiku, muncul juga kata-kata yang pernah Ia ucapkan dulu, “Ya…tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, khan?”

Ada kalanya juga aku sangat kagum padaNya karena Dia berani dan mau menyembuhkan orang-orang itu dari jarak yang dekat, bahkan terhadap orang kusta sekalipun. Dia menjamah dan menyentuh mereka tanpa takut dan jijik terhadap mereka, sedangkan orang lain menganggap mereka itu orang yang kena kutuk dan najis. Beberapa di antara mereka juga ada yang dipelukNya. Ketika aku bertanya mengapa Ia melakukan hal ini, Dia hanya berkata kalau Dia mengasihi mereka dan bahkan datang untuk menghilangkan kutuk yang ada pada mereka. Dia sama sekali tidak merasa jijik terhadap mereka. Aku selalu melihat air mata yang mengalir dari mereka yang dipeluk. Tapi bukan mereka saja yang menangis. Kadang guru juga menangis bersama mereka. KasihNya itu luar biasa.

Bagaimanapun juga, hal yang paling aku sukai adalah…Dia sering menyembuhkan mereka pada hari Sabat. Tentu saja Dia dikecam oleh banyak ahli-ahli Taurat dan agama, tapi selalu saja Ia membungkam mulut mereka dengan hikmatNya yang luar biasa. Dia berkata, peraturan itu dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk peraturan. Aku paling senang kalau melihatNya membuat para ahli Taurat itu terdiam. Guru memang luar biasa! Selain itu, Dia juga membuat para ahli Taurat membenciNya karena Dia bergaul dengan orang berdosa. Dia selalu mengingatkanku akan hal ini, yaitu kalau Dia mencintai setiap orang berdosa, tetapi membenci dosa itu sendiri. Jadi sebenarnya Dia datang untuk membebaskan mereka semua dari dosa-dosa mereka. Bukankah itu luar biasa?

O ya, tentang mujizat kesembuhan yang Ia lakukan, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Biasanya, aku melihat mereka langsung sembuh saat di jamahNya. Misalnya saja orang buta langsung melihat setelah di pegang matanya, atau orang bisu langsung bisa berbicara ketika guru menyentuh mulutnya atau lidahnya dan banyak lagi. Tapi pernah suatu kali, saat itu kami ada di kota Betsaida, Dia didatangi oleh beberapa orang yang membawa temannya yang sakit buta untuk disembuhkanNya. Dia membawa orang itu ke luar kampung dan mulai menyembuhkan orang tersebut. Lagi-lagi Dia meludahi mata orang itu dan meletakkan tanganNya ke atasnya. Dia bertanya kepada orang buta itu, “Sudah lihat sesuatu?”

“Hm, kurasa ya. Aku melihat orang soalnya aku melihat mereka berjalan-jalan…tapi kok aneh ya…mereka tampaknya seperti pohon-pohon.” jawab orang itu dan kemudian guru meletakkan lagi tanganNya pada mata orang itu. Saat itu juga, orang itu bisa melihat dengan jelas dan sempurna. Luar biasa! Aku tidak tahu kenapa Dia harus meletakkan tanganNya dua kali. Entah iman orang itu atau bagaimana aku kurang jelas, tapi yang pasti aku percaya itu juga merupakan metodeNya. Itu saja.

Kalau bicara tentang penyembuhan di Betsaida itu aku juga teringat akan peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebelum ke Betsaida, kami sempat memberi makan lima ribu orang lebih. Saat itu Dia mengajar sampai sore. Begitu banyak orang yang datang mendengarkanNya dan mereka keasikan dengan pengajaranNya itu sampai-sampai mereka lupa pulang dan makan. Akhirnya beberapa temanku berkata kepada guru supaya Dia menyuruh mereka untuk pulang karena kami sendiri tidak tahu harus bagaimana. Di luar dugaan kami, Dia malah menyuruh kami memberi mereka makan. Yudas, yang waktu itu menjadi bendahara di antara para murid mengeluh karena uang kami tidak akan cukup untuk membeli makanan untuk orang sebanyak itu. Namun seperti biasanya, Dia melihat ke sekeliling tempat itu. Kembali jantungku berdebar keras. Sesuatu yang besar akan terjadi lagi di sini. Aku tahu pasti akan hal ini.

Dia bertanya apakah ada yang membawa roti dan ikan. Tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki yang membawa lima roti dan dua ikan. Hanya itu yang dimiliki oleh anak itu.
“Ini lebih dari cukup. Makasih ya, nak.” kataNya. Kami hanya berpandang-pandangan sendiri karena bingung akan apa yang Ia ucapkan. Mana mungkin lima roti dan dua ikan cukup untuk memberi makan ribuan orang ini? Ditengah-tengah perdebatan kami, Dia mengangkat roti-roti dan ikan-ikan itu serta mengucapkan syukur. Lalu Ia berkata kepada kami untuk membagi-bagikan roti dan ikan itu. Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya, tetapi roti dan ikan itu bisa selalu ada di tangan kami. Kami bahkan tidak berpikir akan membagikannya sedikit-sedikit. Kami membagi-bagikan roti dan ikan itu begitu saja. Mujizat terjadi lagi. Semua orang yang ada di situ…ya SEMUAnya mendapatkan roti dan ikan pada hari itu. Mereka semua makan dengan kenyang…bahkan, setelah kami kumpulkan sisa makanan hari itu, masih ada dua belas bakul yang tersisa. WOW! LUAR BIASA! Aku tidak pernah bisa menahan kata-kata itu dari mulutku setiap saat aku melihat perbuatanNya.

******

Setelah peristiwa tadi, ketika orang banyak itu sudah pergi, Dia menyuruh kami untuk pergi ke Betsaida sedangkan Dia akan menyusul kami. Mungkin Dia mau berdoa dulu, aku juga kurang tahu. Singkat cerita, kami akhirnya pergi dulu ke Betsaida dengan menggunakan perahu. Di tengah malam, hmm…kira-kira jam tiga, saat kami masih ada di atas laut, tiba-tiba ada angin yang kencang. Kami sangat kewalahan saat itu, tapi dengan pengalaman kami sebagai nelayan, kami berusaha sekuat tenaga kami. Di tengah-tengah kegalauan kami muncul masalah lagi. Ada seorang murid yang berteriak-teriak.

“Hantu! Hantu!” serunya sambil menunjuk ke suatu arah. Di tengah angin yang kencang itu tampak sebuah sosok yang berjalan di atas air. Mereka sangat ketakutan. Aku lebih mencermati sosok itu dan akhirnya aku tahu kalau itu bukan hantu tetapi guru. Mungkin karena ketakutan mereka, guru juga mereka sebut sebagai hantu. Tapi…bagaimana dia berjalan di atas air?
Tanpa pikir panjang, aku langsung memanggilNya.

“Guru! Kalau itu Kamu, panggil aku untuk berjalan juga di atas air!” seruku.
“Ya! Ini Aku!” seruNya membalasku, “Ayo ke sini! Kamu bisa!” Tanpa berpikir panjang, aku langsung melangkahkan kakiku keluar dari perahu. Sungguh luar biasa. Sepertinya di bawah permukaan air itu ada lantai yang menopangku. Dengan mudah aku melangkah. Benar-benar seperti melangkah di atas daratan. Aku memandang ke arah guru dengan wajah yang gembira. Seperti seorang ibu yang melatih anaknya berjalan, Dia mengulurkan tanganNya kepadaku. Aku terus berjalan ke arahNya. Tapi di tengah perjalananku, angin yang kencang itu mulai bergejolak lagi. Aku diterpanya beberapa kali sehingga aku menjadi takut. Karena ketakutanku itulah akhirnya aku jatuh dan tenggelam. Aku berteriak-teriak saat itu supaya guru menolongku. Sekalipun aku seorang nelayan, aku tidak mampu berenang saat itu. Tenagaku hilang karena aku sangat ketakutan. Namun guru segera datang dan meraih tanganku. Dia membawaku kembali ke dalam perahu. Dia bertanya kepadaku, “Kenapa kau bimbang dan tidak percaya?”

Aku merasa bersalah pada saat itu. Padahal aku sudah berjalan setengah perjalanan. Namun Dia kembali merangkulku dan tersenyum…dan itu menghilangkan perasaan bersalahku. Dia selalu hebat dalam menghilangkan perasaan bersalah di dalamku. Setelah itu, angin itu pun reda.

Pengalaman kami dengan badai tidak hanya sekali itu saja. Suatu saat kami juga pernah mengalami pengalaman yang lebih buruk. Saat itu guru sudah selesai mengajar orang banyak dan kami akhirnya pergi melewati jalur air karena di daratan ada banyak orang yang mencari Dia. Akhirnya kami membawaNya pergi bersama. Di luar perkiraanku, orang banyak itu pun menyewa perahu yang ada dan mengikuti kami. Jadi saat itu ada banyak perahu yang mengikuti. Di tengah perjalanan, badai yang sangat kencang menyerang kami. Semuanya kalang kabut. Selama hidupku, tidak pernah ada badai yang sekencang ini. Aku tidak tahu situasi di perahu lain, tapi yang jelas di perahu kami sangat mengerikan keadaannya. Perahu sudah hampir penuh dengan air. Sampai beberapa saat kemudian kami baru teringat bahwa kami membawa guru bersama-sama. Kami mencariNya ke mana-mana dan akhirnya kami menemukan Dia yang sedang tidur di buritan kapal.

“Guru, guru! Cepat bangun! Perahu kita hampir tenggelam nih! Cepat guru!” kata seorang murid dengan ketakutan. Guru langsung bangun dan menghardik badai tersebut. Keadaan pun kembali normal. Kami semua yang melihat itu hanya melongo. Siapa gerangan orang ini sampai badai pun tunduk pada perintahNya. Aku masih belum percaya akan apa yang aku lihat. Dia mengatakan hal yang sama seperti saat aku tenggelam karena berjalan di atas air.

“Mengapa kamu begitu takut dan bimbang?” Aku tidak sanggup berkata apa-apa. Aku sudah mengulangi kesalahanku dua kali. Saat kami melanjutkan perjalanan, aku masih merenungkan peristiwa tadi. Memang ternyata kami bersalah karena kami membawa Dia dalam kapal. Seharusnya…Dialah yang membawa kami. Jika demikian halnya, maka keadaan pun tidak akan seperti tadi. Yang lebih aku pikirkan…bagaimana ya perahu yang lain? Di perahu kami saja, di mana guru ada, sudah heboh sekali. Wah, mungkin malah mereka bertengkar sendiri…aku tidak tahu.

******

Namun, selain peristiwa yang mengerikan, aku dan murid-murid yang lain juga pernah mengalami hal-hal yang sangat menyenangkan. Seperti pada saat itu, ketika Dia mengutus kami untuk pergi berdua-dua. Sebelumnya, guru mengumpulkan kami. Saat itu ada tujuh puluh orang murid. Dia memberikan pengajaran kepada kami bahwa bukan hanya Dia saja yang mampu melakukan tanda-tanda mujizat dan ajaib, tetapi kami pun juga bisa melakukannya. Aku sempat tidak percaya lagi saat itu. Namun diakhir pengajaranNya, Dia memberikan kuasa kepada kami. Akhirnya aku pergi bersama salah seorang murid. Sungguh menakjubkan bagiku saat aku menjamah seorang yang sakit dan dia sembuh. Aku tidak pernah merasakan perasaan ini. Kegembiraan memenuhi hatiku. Dengan penuh semangat aku mulai menggunakan kuasa yang diberikan guru kepadaku. Di dalam namaNya semua roh jahat dapat kami usir seketika itu juga. Ternyata memang benar, kami pun bisa melakukan apa yang Dia lakukan. Jujur, aku suka akan sifat guru yang satu ini. Dia tidak hanya mengajar kami secara teori, tetapi juga dengan praktek. Dia menyuruh kami untuk langsung terjun ke lapangan, berhadapan langsung dengan orang-orang yang sakit dan kerasukan setan. Berbeda dengan para ahli Taurat yang hanya mengajar dengan teori tanpa ada perbuatan sama sekali. Lebih parah lagi, mereka sendiri pun sangat munafik. Saat kami berkumpul kembali, semuanya memperlihatkan raut muka yang gembira. Semuanya bersaksi kalau mereka juga telah menyembuhkan banyak orang sakit dan kerasukan setan di dalam nama guru. Hari itu sungguh merupakan hari yang penuh dengan kemenangan bagi kami.

Sudah sekian lama kami ikut dengan guru. Kami pergi berkeliling untuk mengajar, membantu, memberitakan kabar sukacita dan masih banyak lagi. Namun, beberapa saat yang lalu banyak juga murid yang mengundurkan diri dan tidak lagi pergi bersama-sama dengan kami. Hal ini di karenakan pengajaran guru yang keras sehingga mereka semua tidak sanggup menanggungnya. Bagiku, keras atau tidak keras, pengajaran guru selalu mempunyai makna tersendiri. Kadang memang sangat sulit dicerna sekalipun sudah menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Oleh karena itu, Dia selalu menyempatkan diri untuk mengajari kami, kedua belas muridNya, secara pribadi. Di waktu-waktu inilah Dia memberikan kesempatan untuk bertanya jawab dengan Dia. Semuanya terjadi dengan sangat menyenangkan. Aku, Yohanes dan Yakobus adalah murid yang paling banyak diajar olehNya. Kami bertiga sering diajak pergi ke tempat yang tenang dan terhindar dari orang banyak. Di sana kami diajar lagi. Yohanes, murid yang dikasihiNya, sering mendengarkan pengajaran sambil menyandarkan kepalanya di pundak guru. Memang itu sifat Yohanes. Guru selalu mengerti akan sifat-sifat kami. Aku pribadi tidak tahu mengapa kami bertiga diberi perlakuan khusus, tapi aku tahu Dia punya alasan sendiri.

Karena sudah sering diajar olehNya dan semakin akrab, aku jadi lebih mengenal pribadi guru. Oleh karena itu, sekalipun mendengar pengajaranNya yang keras, aku tidak akan pernah mundur seperti murid-murid yang lain. Aku tahu siapa Dia pada akhirnya dan saat Dia bertanya kepadaku, dengan percaya dan pasti aku menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah.” Dia tersenyum dan berkata bahwa bukan aku yang mengatakannya tetapi Rohlah yang menjawab.
“Engkau, Si Batu Karang, di atasmulah Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya. Aku berikan kunci kerajaan sorga kepadamu. Apa yang kamu ikat di dunia akan terikat di surga dan apa yang kamu lepas di dunia, juga akan terlepas di surga.” LanjutNya. Aku baru tahu apa arti perkataanNya beberapa saat kemudian. Namun sebelumnya, aku tetap menyimpan perkataan itu dalam hatiku.

******

Pernah juga suatu ketika, saat kami pergi ke gunung yang tinggi, Dia berubah wujud. Sungguh sangat mempesona. Dia memakai baju yang putih berkilau. Sangat putih, sehingga keadaan sekitar menjadi terang. Di sebelah kanan dan kiriNya berdiri Elia dan Musa. Aku tidak tahu kenapa aku bisa langsung mengenali keduanya, padahal aku hanya tahu tentang mereka berdua dari sejarah yang diajarkan oleh para ahli Taurat. Saat itu, hanya aku, Yohanes dan Yakobus yang melihatnya.

Selain dari semua itu, ada lagi yang aku kagumi dari diriNya, yaitu penundukan diri. Bukan hanya kepada BapaNya, tetapi juga kepada pemerintah. Dia tetap membayar bea untuk Bait Allah. Yang lebih mengherankan lagi adalah cara Dia membayar waktu itu. Ya…bukankah tadi aku sudah berkata kalau Dia punya metode sendiri. Waktu itu aku disuruh pergi ke pantai untuk memancing seekor ikan di sana. Saat aku mendapatkan seekor ikan dan membelahnya, aku menemukan dua buah koin emas. Itulah uang yang kami bayarkan ke pemerintah. Apa Dia itu ahli sulap ya? Entahlah…Aku hanya bisa terkagum-kagum akan semua perbuatanNya.

To be continued...