Kamis, 04 Juni 2009

The Literature of Life

“Hidup ini adalah sebuah karya sastra,” kataku, “ditulis oleh seorang Pujangga yang sangat mengerti akan kehidupan.”


Sang Surya sudah mulai beringsut ke perbatasan horison dengan sinarnya yang memerah. Angin membawa kabar untuk malam yang menjelang dan riuh rendah orkestra alam pun telah dimulai. Dua orang anak sederhana yang berusaha memahami arti kehidupan berbaring di hamparan rumput yang hijau dan basah. Telah beberapa saat mereka merenung di tengah nyanyian malam, tapi baru sekarang bintang di langit menemani mereka.

“…hm, kalau begitu, apa kematian juga merupakan goresan pena di tangannya?” Dia memandangku dengan pandangan yang lembut. Mata yang berseri dan senyum yang terlukis di wajahnya selalu membuatku bertanya apakah pernah ada kesedihan di dalam hatinya. Aku diam seribu bahasa, tidak ada satu jawaban pun yang melayang di pikiranku. Kami kembali melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit malam. “Cantik ya,” lanjutnya pelan, “tidak tahu sampai kapan aku dapat memandang mereka seperti ini.”

Aku menyahut pelan, lebih untuk diriku, “Entahlah…tapi aku akan selalu ada di sisimu, untuk menemanimu memandang mereka.”

Entah sejak kapan aku menyukai dia, seorang gadis manis yang selalu saja tersenyum menatap ke depan. “Aku akan tertawa menyambut masa depan!” serunya suatu kali kami bermain bersama di pinggiran pantai. “Karena aku tahu ada harapan dan impian yang menantiku di sana.” Waktu serasa singkat saat kami berjalan dan bermain berdua, sangat singkat.

Kezia Permata, gadis manis yang aku kenal sejak SMP, periang, ramah, penuh perhatian dan pandai bergaul. Beda denganku yang selalu menyendiri, sedikit kata-kata dan cenderung tertutup. Banyak teman-teman yang senang berada di dekat Kezia karena apa yang dikeluarkan dari hatinya selalu membuat mereka lebih mengerti tentang diri mereka. Dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya dan dia selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimilikinya. “Semua yang terjadi dalam hidup kita itu adalah harta yang tak ternilai, ya khan?” ujarnya dengan tersenyum. Jantungku selalu berdetak cepat saat melihat senyumannya yang manis dan tulus itu. Rambutnya yang panjang dan hitam biasanya hanya dibiarkan tergerai begitu saja, sederhana tapi begitu menarik.

“Hei, kenapa?” sapanya sambil menepuk bahuku dari belakang. Waktu itu aku sedang menyendiri di ruang kelas sepulang sekolah. Hari itu dunia serasa hancur bersamaan dengan hidupku. Aku tidak naik kelas. “Ayolah, khan masih ada kesempatan lagi.” sahutnya memberiku semangat. Kalau orang lain yang mengatakan hal itu, mungkin aku akan mengira kalau mereka mengejekku, tapi ketulusan hatinya berbeda dengan orang lain. Ini yang membuatku sadar mengapa banyak orang yang suka bergaul dengan Kezia. Setiap perkataannya selalu membangun hidup yang runtuh, memulihkan yang terluka dan membawa kekuatan di saat-saat yang sulit.

Setahun yang lalu, kami berbaring di tempat yang sama sambil melihat bintang-bintang yang bertaburan. Kezia suka menikmati alam dan bukit ini merupakan tempat kesayangannya. Sebuah pohon yang besar menjulang tinggi di tengah-tengah bukit ini dan kami menamainya Si Pak Tua karena pohon ini sudah ada sejak kami lahir dan juga karena kami sendiri tidak tahu apa nama pohon ini.

“Sudah berapa tahun ya kita selalu berbaring seperti ini?” tanyaku ragu. Jantungku berdebar-debar melihat wajahnya yang berseri-seri itu. Dia menutup mata, entah mengingat-ingat atau menikmati nyanyian alam. “Bintang dan bulan juga tidak pernah berubah yah.” Dia tertawa kecil.

“Sejak SMP mereka selalu melihat kita seperti ini,” ujarnya tersenyum, “apa mereka tidak malu yah?” Kami berdua tertawa lagi. Hanya saat berdua dengannya aku bisa tertawa lepas seperti ini.

“Kezia…,” Aku memanggilnya pelan. Dia memandangku dengan matanya yang bulat itu. “maukah kamu…err…kita berdua jalan bersama…maksudku…” Argh, kenapa susah sekali menyatakan perasaanku kepadanya. Aku memang bodoh.

“Aha, ha, ha, ha!” Di luar dugaanku dia tertawa keras, tidak dibuat-buat, tapi benar-benar tertawa. “Aduh, kamu lucu deh kalau begitu. Ha, ha, ha!” Karena dia tertawa, aku tidak meneruskan kata-kataku karena malu. Namun setelah beberapa saat dia memegang pipiku dengan lembut dan perlahan mengangguk. Mukaku memerah sesaat tapi kemudian dia kembali berbaring dan melihat ke arah bintang yang menghiasi langit malam. Hari itu adalah hari yang terbaik dalam hidupku. Sekalipun dia tidak mengatakan sesuatu, tapi kami saling memahami dan aku mendapatkan gadis terbaik di dalam hidupku.

Dia menyelesaikan studinya setahun lebih cepat dariku dan memilih kuliah di perguruan tinggi swasta. Setahun kemudian, aku menyusulnya di universitas yang sama tapi berbeda jurusan. Aku tidak akan mampu menjadi dokter yang baik pikirku karena biologi, fisika dan matematikaku selalu dibawah 5. Kezia berbeda. Dia sangat pandai dan cerdas melebihi siapa pun di kelasnya. Dia berkata sambil tersenyum, “Karena ada the spirit of excellence di dalamku sih.” Kemudian ia menumpangkan tangannya di atas kepalaku bercanda dan kami menghabiskan waktu dengan sukacita.

Banyak teman-teman kuliah yang mengatakan I’m the luckiest person in the world karena punya kekasih seperti Kezia. Selama beberapa kali dia membantu teman-temannya berdiri kembali dari keterpurukan mereka. Ada yang jatuh dalam sex, dalam narkoba. Ada juga yang rumah tangga mereka hancur kembali pulih setelah Kezia mendoakan dan memberikan konseling. “She is a miracle girl, a gift from heaven,” Itu salah satu sebutannya di kampus. Jarang sekali dia menangis saat menghadapi masalah, tapi sering menangis waktu melihat film sedih. “Arrgghh! Aku ngga mau liat film bad ending lagi ah!” katanya sambil memukul-mukul lenganku. Aku tertawa menggodanya.

Hari itu musim hujan dimulai. Aku ingat benar kami menghabiskan malam itu di sebuah restoran kesukaannya.

“Sa, boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku ragu sebelum makanan kami datang. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Jarinya yang lentik memainkan sendok di depannya. “Kenapa waktu itu kau mau menerima aku jadi pacarmu?” Dia memandang ke arah atap restoran ini sebentar, setelah itu tersenyum lagi sambil memainkan rambutnya yang panjang.

“Kau tahu, dulu aku tidak pernah tersenyum sama sekali,” ia mengambil gelas dan meminum air putih yang disediakan. “Hidupku penuh dengan permasalahan,” Aku memang pernah mendengar bahwa keluarganya juga mengalami kehancuran—ayah dan ibunya bercerai sedangkan kakak lelakinya mati karena overdosis. Sekarang dia harus tinggal di rumah bibinya karena tidak ada dari orang tuanya yang mau membawanya. “Waktu itu, aku benar-benar benci Tuhan. Aku menyalahkanNya atas apa yang sudah aku alami. Tidak pernah sedetik pun aku berpikiran kalau Dia baik. Beberapa teman berusaha untuk menolong dan berdoa buatku, tapi hatiku tetap keras. Hidupku benar-benar hancur waktu itu. Sampai suatu saat aku membaca sebuah buku yang membuka hatiku. Buku itu mengatakan kalau semua yang terjadi dalam hidup kita itu baik—apapun keadaan kita.” Matanya nampak berbinar waktu itu.

“Sekalipun tidak ada yang menyayangi kita, Tuhan tetap mencintai kita dan dia tidak pernah meninggalkan kita. Buluh yang terkulai, tidak akan dipatahkanNya; sumbu yang mulai pudar nyalanya, tidak akan di matikan…karena hidup kita ini berharga di mataNya. Sejak saat itu, aku berusaha memahami kehidupan ini dan juga Dia yang menulis hidup ini. Hidup ini adalah sebuah karya sastra,” lanjutnya, “ditulis oleh seorang Pujangga yang sangat mengerti akan kehidupan.” Dia mengatakan kalau Tuhan menerima dia apa adanya dan karena itu juga dia menerimaku apa adanya. Malam itu, aku semakin mencintainya.

Sewaktu akan pulang, tiba-tiba dia terjatuh dan lemas. Wajahnya memang agak pucat sebelum kami ke restoran untuk makan malam. Aku sudah berusaha membujuknya untuk menunda makan malam kami, tapi ia tetap saja bersikeras. Dengan cepat aku membawanya ke dokter terdekat. Untunglah karena dokter mengatakan dia hanya kelelahan.

Namun setelah beberapa hari, kesehatannya semakin memburuk. Dia sering jatuh dan pingsan mendadak. Wajahnya juga terlihat pucat. Akhirnya aku memutuskan untuk membawa dia ke rumah sakit untuk di cek medis lebih detil.

Hujan kembali mengguyur bumi saat aku menunggu hasil tes di rumah sakit. Wajah dokter tidak menggambarkan orang yang senang. Dengan ragu dia memberikan hasil tes kepadaku dan menjelaskan bahwa Kezia terkena penyakit yang belum ada obatnya.

“Thalassemia adalah sekelompok gejala atau penyakit keturunan yang diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama darah,” Aku mendengarkan penjelasan dokter dengan perasaan campur aduk. Dalam pikiranku hanya ada gambar wajahnya yang tersenyum manis padaku. “Penderita thalassemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup di dalam darah mereka, sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama-lama akan menyebabkan penyakit yang lain dan…kematian. Oleh karena itu, penderita thalassemia mayor memerlukan transfusi darah yang sering dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.”

Kakiku hampir tidak dapat keluar karena lemas. Tenagaku hilang entah ke mana. Selama ini Kezia begitu memberiku semangat dan kekuatan untuk menjalani hidup. Dia selalu ceria dan menikmati hidup ini sekalipun ada masalah yang menimpanya. Namun kenapa harus dia yang menderita? Padahal dia sudah bersyukur setiap saat…

Hari itu, aku tetap melihat senyuman terlukis indah di wajahnya yang pucat. Dia berjalan lemas ke arahku dan duduk di sebelahku, “Semuanya baik,” dia memandangku, “Amat sangat baik.”

Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Semua dokter sudah menyerah terhadap penyakit Kezia. Teman-teman mulai berdatangan dan menghibur dia, tapi terkadang justru kamilah yang terhibur saat melihat perjuangannya yang luar biasa. Tidak ada satu pun kalimat kutuk keluar dari mulutnya. Sampai detik ini, dia menjadi berkat yang luar biasa untuk setiap orang di sekitarnya. Semua orang telah menyerah dengan penyakitnya, tapi dia tidak menyerah dengan hidupnya. “Kalau Tuhan tidak pernah menyerah terhadap aku, kenapa aku harus menyerah terhadapNya?” Dia memang benar-benar gadis yang kuat.

Di satu kesempatan, kami pergi berdua ke bukit kesayangan untuk sekali lagi menikmati keindahan alam. Aku telah berusaha membujuknya untuk tidak keluar, tapi aku tahu itu tidak akan pernah berhasil. Jadi mau tidak mau aku membawanya ke sana dengan sangat berhati-hati. Satu lagi yang membuatku khawatir, dia tetap nekat untuk berbaring di rumput, menikmati birunya langit malam seperti yang kami lakukan dulu, tentu saja aku tidak mampu menahannya.

Kami berdua pun menikmati malam itu. Yang aku inginkan saat ini hanyalah menikmati hidup selama dia masih ada di sisiku. Dia adalah pribadi yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun atau apapun.

Setelah sekian lama kami menikmati nyanyian alam, aku mulai memecah permenungan kami. “Hidup ini adalah sebuah karya sastra,” kataku, “ditulis oleh seorang Pujangga yang sangat mengerti akan kehidupan.” Aku menirukan ucapannya yang paling aku ingat. Mungkin di saat itu aku masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia harus mengalami semua ini. Aku sempat berpikir apakah Tuhan ingin bermain-main dengan hidup orang. Kezia yang tadinya hancur, Dia pulihkan…tapi sekarang Dia ingin mengambilnya lagi. Bukankah ini tidak adil?

“…hm, kalau begitu, apa kematian juga merupakan goresan pena di tanganNya?” Saat menanyakan hal itu pun dia tampak gembira dan tulus. Aku hanya diam karena tidak tahu harus mengatakan apa. “Cantik ya,” lanjutnya pelan, “tidak tahu sampai kapan aku dapat memandang mereka seperti ini.”

Aku menyahut pelan, lebih untuk diriku, “Entahlah…tapi aku akan selalu ada di sisimu, untuk menemanimu memandang mereka.”

Sekalipun rasa sedih ini ingin meledak dalam hatiku, tapi saat melihat senyum dan keteguhan hatinya, semua perasaan itu hilang begitu saja. “Bagiku, kematian bukanlah akhir dari segalanya…tapi awal dari hidup yang lebih indah,” katanya setelah beberapa saat terdiam. Dia tetap menatap bintang-bintang yang tampak lebih banyak dari biasanya. “Saat aku memejamkan mataku, peristiwa di masa lalu kembali terlintas dalam benaku. Saat aku sedih, saat aku sendiri, saat aku merasa dibuang…Tuhan ternyata selalu bersamaku. Waktu aku gembira, Dia tertawa bersama. Di gunung kemenangan maupun di lembah kekalahan, si Pujangga penulis hidupku ini selalu menyertaiku. Karya tangannya menulis sebuah hidup yang sangat layak untuk dinikmati. Kau tahu…mungkin bukan kematian yang jadi goresan pena di tanganNya, awal kehidupan barulah yang jadi rencanaNya sejak semula. Bukankah semua baik dari awal? Dia merencanakan awal hidup kita, menenun kita di janin ibu, membuat kita besar dan mengerti akan pentingnya harapan dan cinta. Lagipula, seorang Pujangga selalu menyukai hasil karyaNya sendiri khan.—dan aku pun akhirnya tahu,” Dia berhenti sejenak; matanya menatap tepat ke mataku, “Kalau aku mendapatkan seorang kekasih luar biasa yang mencintaiku.” Aku hanya terdiam terpaku karena semua perkataannya. Setelah itu dia menarik nafas panjang dan melanjutkan, “Sebentar lagi aku akan menyelesaikan pertandingan ini,” Dia tersenyum lagi masih memandangku dengan penuh kasih sayang, “Kelihatannya, aku selalu lebih cepat darimu yah. Ha, ha, ha.” Aku menitikkan air mata sekalipun dia terlihat sangat bahagia.

“Kezia…” Kami berdiam dan saling memandang.

“Aku mencintaimu,” Dan ia menutup matanya perlahan sambil melempar senyum kepadaku. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke 20.

Malam itu adalah terakhir kalinya bintang dan bulan memandang kami berdua. Sejak saat itu, Kezia harus menghabiskan hari-harinya di rumah sakit karena kesehatannya yang terus menurun. Ayahnya berusaha mati-matian untuk menopang kehidupannya dengan biaya yang sangat mahal karena pengobatannya. Namun di satu titik, Kezia menyuruh ayah dan ibunya berhenti. “Sudah, Pa, jangan dilanjutkan lagi,” katanya dengan air mata membasahi pipinya, “Papa sudah melakukan lebih dari cukup untuk Kezia. Terima kasih.” Ayah dan ibunya hanya bisa menangis dan berlutut waktu itu.

Dua minggu setelah semua pengobatannya diberhentikan, dia mengajakku keluar sebentar di taman rumah sakit. Aku hanya ingin membuatnya merasa bahagia di saat-saat akhirnya karena dia telah memberikan sesuatu yang tidak tergantikan dalam hidupku.

Aku mendorongnya dengan kursi roda ke tengah taman yang besar dan hijau ini. Sekalipun malam telah menjelang, tapi angin tidak bertiup kencang seakan tahu Kezia ingin melihat langit malam ini.

“Ternyata indah juga yah dilihat dari taman ini,” katanya dengan nada yang bahagia. “Ah, dilihat dari mana saja, langit malam memang terlihat indah.” Aku hanya mengangguk dan menatap keindahan alam yang selalu dicintainya. Dengan perlahan aku memeluknya dari belakang tanpa mengeluarkan satu katapun karena air mata ini sudah menggenang. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. “Aku mencintaimu…,” katanya lirih, “Terima kasih mau menemaniku sampai garis akhirku. Kau adalah hadiah yang paling indah dari surga untukku…” Aku tidak berbicara apa-apa karena kesedihan yang benar-benar meledak dalam hatiku. Itulah kata-kata terakhirnya.

Tidak akan ada lagi canda tawanya, tidak akan ada lagi senyumannya, tapi karya sastra hidupnya tidak akan pernah hilang dari hatiku dan juga dari semua orang yang pernah membaca lembaran hidupnya. Ia membiarkan orang-orang membaca setiap lembar dari halaman hidupnya. Di akhir perjalanannya, ia masih memberikan kesaksian bahwa Tuhan itu baik.

Saat aku pergi ke bukit kesayangannya, bintang dan bulan selalu bercerita tentang dia. Orkestra alam masih terdengar membawakan symphony yang indah untuknya. Dengar, bahkan angin pun membawa kisah indah tentang hidupnya.


--- Until the end of her life, she’s really a gift from heaven ---


0 comments: