Minggu, 07 Juni 2009

My Lovely Prince - Peter's Story (Part 2)

Namun…saat itu datang juga…di mana Dia harus menyerahkan nyawaNya. Sudah tiga kali Dia menyatakan kalau diriNya harus dihina, disiksa dan dibunuh untuk menebus dosa manusia. Aku tidak pernah tahu apa maksud perkataanNya. Bukankah Dia seorang pahlawan? Setidaknya Dia seorang pahlawan dalam hidupku. Bukankah dia itu Tuhan? Kenapa harus mati segala? Hari-hari itu merupakan hari yang berat buat kami semua…terutama aku sendiri.


Aku masih ingat…satu malam sebelum Dia diserahkan oleh pengkhianat itu, kami makan malam bersama. Lagi-lagi waktu itu Dia melakukan hal yang aneh. Dia mencuci kaki kami. Aku sangat bingung kenapa seorang guru harus mencuci kaki murid-muridnya. Tapi yang membuka mata hatiku adalah saat Dia berkata bahwa Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.


“Kalau begitu, mandikan aku sekalian , Guru. Biar bersih.” kataku spontan tanpa berpikir dulu.

“Tidak…Kalau kamu sudah mandi, kamu sudah bersih, hanya kakimu yang tidak bersih.” Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Dia katakan. Setelah aku duduk, Dia mulai membasuh kaki kami masing-masing. Kami memulai makan roti yang ada saat guru sudah selesai membasuh. Sebelumnya, Dia memimpin kami untuk berdoa dan kemudian membagi-bagikan roti itu. Dia juga mengangkat sebuah cawan anggur yang besar. Setelah berdoa, Dia mengedarkan cawan itu kepada kami semua.

“Salah satu dari kalian akan menyerahkanKu.” Mendengar perkataanNya itu aku langsung marah.

“Tuhan, siapa orang itu?!” Dia hanya diam, sedangkan teman-temanku yang lain malah ribut sendiri. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang aneh pada diri Yudas Iskariot, salah satu temanku yang biasanya memegang keuangan kelompok kami. Aku sudah lama tahu kalau dia mengkorupsi uang kami. Namun aku tidak tahu apa alasan guru mengapa tidak menghukumnya.

“Kau tahu apa yang mau kau lakukan…lakukanlah segera.” kata guru tiba-tiba kepada Yudas. Lalu dia pun pergi keluar meninggalkan kami. Dia mulai mengajar kami lagi seperti yang sudah-sudah. Beberapa pengajaranNya membuatku bingung, seperti tempat di rumah Bapa dan Dia menyediakan tempat di sana. Apakah Dia mempunyai penginapan di suatu tempat yang tidak kami ketahui? Bisa saja khan, karena Dia selalu mempunyai kejutan.


“Guru, kemana Kamu pergi?” tanyaku ingin tahu.

“Saat ini, kamu tidak bisa pergi ke sana.”

“Apa? Kenapa? Padahal aku ingin mengikutiMu terus. Guru, aku ingin ikut denganMu dan melindungiMu selamanya. Aku serius! Aku bahkan berani mati untukMu.” kataku sambil mengepalkan tanganku.

Dia menggelengkan kepalaNya, “Kamu mau mati bagiKu? Si Batu Karang yang teguh itu…akan menyangkalKu tiga kali sebelum ayam berkokok pagi ini.” Saat itu juga, aku kehilangan tenagaku. Aku tidak percaya apa yang Dia katakan…atau bahkan aku tidak mau mempercayai kata-kataNya. Aku tidak akan pernah goyah sekalipun, tidak pernah. Tapi yang luar biasa dari Dia adalah…Dia tidak pernah putus asa. Tidak pernah putus asa terhadapku ataupun terhadap teman-teman yang lain, bahkan terhadap pelacur yang dulu mau dirajam sekalipun. Saat itu, tidak ada tatapan pesimis dalam mataNya. Sebaliknya, tatapan itu mau berkata, “Kamu bisa berdiri lagi…”


Sebuah ajaran yang sampai saat ini aku kenang adalah perintahNya untuk saling mengasihi…karena itulah pengajaran yang Ia sampaikan terakhir kalinya. Setelah itu Dia menghibur kami dengan menjanjikan Penghibur dan Penolong yang akan menyertai kami.


Guru mengajak kami semua pergi ke Taman Getzemani malam itu. Aku tahu Dia sangat sedih dan gentar. Namun Dia pernah berkata kalau Dia begitu mencintai kami, bahkan rela mati di salibkan. Sesampainya di sana, Dia menyuruh kami untuk duduk dan berjaga-jaga. Ia mengajak aku, Yohanes dan Yakobus untuk ikut denganNya sampai ke bagian dalam taman.

“HatiKu sangat sedih, seperti…mau mati rasanya. Tinggallah di sini…dan berjaga-jaga denganKu.” kataNya. Aku sungguh sedih saat itu. Tidak pernah aku melihat raut wajah guru yang sangat sedih dan…ketakutan. Pernah terlintas di pikiranku…mengapa Dia tidak mau menolak salib itu? Mengapa Dia harus mati untuk kami yang…yang penuh dengan dosa? Bahkan setitik darahNya…itu tidak layak untuk kami. Di tengah perenunganku, aku mendengar Dia berdoa dengan kata yang terpatah-patah dan nada yang gemetar. Sungguh malam itu adalah malam yang mencekam.

“Bapa, Bapa…kalau boleh…biar cawan ini…berlalu daripadaKu.” Kemudian Dia berhenti sejenak, “Tapi…bukan kehendakKu yang jadi, tapi kehendakMu.” lanjutNya. Karena begitu lelahnya, aku tertidur di sana. Doa tadi adalah kata-kata yang terakhir aku dengar dariNya.


“Tidak sanggupkah kamu berjaga-jaga denganKu?” Sayup-sayup aku mendengarkan suara guru. Mungkin pertanyaan itu ditujukan untukku, namun mataku terlalu berat untuk dibuka saat itu..

“Berjaga-jaga dan berdoalah supaya kamu tidak jatuh dalam percobaan karena roh itu penurut, tapi daging lemah.” Dan aku mendengar langkah kakiNya menjauh lagi dari kami. Aku pun terlelap tidur.

Suara langkah kaki yang mendekat kembali mengusik tidurku. Kelihatannya itu guru, namun Dia tidak berbicara apa-apa dan kembali berdoa lagi. Sungguh mata dan tubuhku terasa sangat berat malam itu…mungkin semua ini karena…atmosfir yang sangat berat saat itu.

Suara jangkrik dan belalang di tengah malam itu dihentikan dengan suara langkah orang banyak yang datang ke arah kami.


“Bangunlah…karena dia yang mau menyerahkan Aku sudah datang.” Dengan terkejut aku terbangun dari tidurku. Murid-murid yang lain juga terbangun dan berusaha untuk melindungi guru. Namun beberapa di antara mereka lari ketakutan karena melihat begitu banyaknya orang yang datang. Mereka membawa obor, pedang dan tombak serta senjata yang lain. Dan Yudas…ada di antara mereka.


Dia keluar dari kumpulan orang banyak itu dan mencium guru. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku segera melindungi guru.

“Siapa yang kau cari?” tanya guru kepada mereka. Tentu saja mereka mencari guru. Dan kemudian dia menjawab, “Akulah Dia. ” Saat guru menjawab, mereka mundur beberapa langkah dan terjatuh. Sungguh luar biasa…bahkan di saat akhir Dia masih mempunyai kekuatan. Di saat itulah aku mempunyai harapan kalau guru pasti bisa melawan mereka. Dia hanya perlu mengeluarkan beberapa patah kata dan mereka akan terpelanting semuanya.

“Ayo, guru, berkatalah lagi dan buat mereka semua terpelanting. Setelah itu kita pergi dari sini.” pikirku.

“Cepat! Tangkap Dia!” seru mereka. Salah satu hamba Imam Besar maju dan bersiap untuk menangkap guru. Dengan sigap, aku langsung mengeluarkan pedangku dan memotong telinga kanan hamba Imam Besar itu.

“AARRGGHHH!!!” teriak hamba itu.

“Malkhus, kau tidak apa-apa?” tanya seorang temannya. Namun karena kesakitan dia tidak dapat memberikan jawaban. Keadaan menjadi kacau balau. Hampir semua murid kabur melarikan diri. Namun aku tetap di sana bertekad untuk melindungi guru. Tapi diluar dugaanku, guru menyuruhku menyarungkan pedang dan malahan menyembuhkan hamba yang bernama Malkhus itu. Tentu saja setelah itu mereka menangkapNya. Saat melihat sekitarku, aku hanya melihat Yohanes, murid yang dikasihi guru. Sedangkan murid yang lain sudah kabur entah kemana. Aku teringat sekarang arti perkataannya saat itu…

“Waktunya akan tiba…saat gembala itu diambil dari antara dombanya. Domba-domba itu akan tercerai berai.”


Aku bersama dengan Yohanes mengikuti orang banyak itu. Mereka mengolok-olok guru. Beberapa bahkan meludahi Dia. Aku sungguh-sungguh sangat marah karena banyak di antara mereka adalah orang-orang yang dulu pernah mengelu-elukan Dia di depan pintu gerbang Yerusalem dan bersorak-sorak bagi Dia, menyebutNya raja. Tapi entah kenapa, kekuatanku terasa hilang. Mungkin aku merasa kecewa…karena ternyata semuanya tidak sesuai dengan perkiraanku. Guru padahal bisa melawan…tapi mengapa Dia tidak melawan? Saat itu, aku sudah tidak punya keberanian lagi.

Kami mengikutiNya sampai di tempat Hanas, mertua dari Kayafas yang merupakan Imam Besar saat itu. Yohanes mengikuti guru ke dalam istana Imam Besar karena dia mengenal Kayafas, sedangkan aku tetap berada di luar, di dekat pintu. Beberapa saat kemudian Yohanes memanggilku untuk masuk.

Saat aku masuk, ada seorang hamba perempuan di sana yang mengamat-amati aku.


“Lho, kamu juga salah satu murid orang itu khan?” katanya tiba-tiba. Saat itu hatiku langsung kacau. Ketakutan langsung mengalir di dalam darahku.

“Bu, bukan! Bukan aku!” sangkalku. Lalu aku pergi ke sisi lain dari istana itu. Karena hawa yang dingin saat itu, aku menghangatkan tubuh bersama dengan para penjaga Bait Allah. Imam Besar mulai menanyai guru. Hanya beberapa pertanyaan saja yang sempat aku dengar karena ada ketakutan di dalam hatiku. Aku benar-benar kacau hari itu.

PLAK! Sebuah suara tamparan membuatku tersadar dari ketakutanku.

“Begitukah jawabmu terhadap Imam Besar, ha?!” kata seorang penjaga setelah menampar guru.

“Kalau kata-kataKu salah, tunjukkan di mana salahnya. Tapi kalau kata-kataKu benar, mengapa kamu menamparku?” Guru masih sangat berwibawa saat menjawab penjaga itu. Sungguh Dia adalah orang yang tegar. Aku sangat malu terhadapNya. Kemudian mereka mulai membelenggu dan membawaNya ke Kayafas.

Aku masih berdiri di sana untuk menghangatkan tubuhku.

“Hei, kamu juga salah satu muridNya!” Aku kaget saat mendengar kata-kata itu. Ketika sadar, sudah ada banyak orang yang mengerumuniku.

“Bu, bukan aku! Ha, ha, ha, kalian semua ngawur!” seruku ketakutan. Seorang hamba Malkhus juga ada di sana dan membuat keadaan semakin suram.

“Ya! Aku melihatmu di sana! Kau yang memotong telinga kanan tuanku!” karena desakan mereka, aku berteriak keras.

“BUKAN! KALIAN SEMUA SALAH! ITU ORANG LAIN!! BUKAN AKU! AKU TIDAK PERNAH BERSAMA-SAMA DENGAN DIA!!”


Aku langsung menerobos kerumunan itu dan berlari keluar. Namun saat itu, aku berpapasan dengan guru. Aku berhenti sejenak. MataNya yang lembut penuh kasih menatapku saat ayam berkokok pagi hari itu. Hatiku langsung hancur saat mendengar suara ayam itu. Aku teringat akan perkataanNya kalau aku akan menyangkal Dia. Dengan menangis aku keluar dari ruangan itu dan meninggalkanNya. Sungguh aku sangat malu saat itu. Aku benar-benar tidak dapat melihat wajahNya lagi. Aku tidak punya keberanian lagi.


Ke mana angin membawaku pergi, ke sanalah aku melangkah. Sambil masih menangis, aku kembali mengingat kejadian-kejadian hebat yang dulu Ia lakukan. KasihNya yang luar biasa juga teringat kembali. Namun dari semuanya itu, yang paling membuat hatiku hancur adalah saat Dia memandangku dengan penuh kasih…bahkan saat aku menyangkalNya. Hancur bukan karena sakit hati, namun hancur karena aku begitu malu terhadapNya. Mengapa? Dia tahu kalau hal ini akan terjadi…tapi Dia tetap mempercayaiku. Dia bahkan memberiku nama Batu Karang…padahal tahu kalau aku akan mengkhianati Dia. Bukankah aku ini sama seperti Yudas Iskariot kalau begitu? Guru…Dia begitu percaya kepadaku.

Setelah matahari mulai terlihat di ufuk Timur, aku beristirahat dan duduk sejenak di bawah sebuah pohon yang besar.

“Maaf…maaf, guru. Aku begitu penakut…sekalipun aku pernah berkata aku akan membelaMu sampai mati…ternyata…” saat itu aku masih mengingat tatapanNya yang terakhir. Tatapan itu berkata… ”Kau telah melakukannya…tapi Aku tetap mengasihimu…”


Aku berdiam seorang diri di sana sampai ada orang-orang yang berteriak, “Salibkan Dia!”

“Ya! Bunuh saja, penghujat Allah itu!” Aku melihat ada keramaian tidak jauh dariku. Aku mulai melangkah untuk melihatnya. “I, itu guru.” Sungguh betapa ngerinya aku saat melihat tubuhNya yang hancur lebur. Kulit tubuhNya sudah terkoyak-koyak. Darah mengalir di mana-mana. WajahNya sudah…tidak berbentuk manusia lagi. Ada sebuah mahkota duri yang dipakaikan di kepalaNya. Mahkota itu berbentuk seperti helm, menutupi kepala bagian depan sampai ke leherNya. Duri yang sangat panjang terajut tidak beraturan dan banyak sekali. Dia berjalan dengan sempoyongan sambil membawa sebuah kayu yang besar. Aku mendengar beberapa orang yang kasihan kepadaNya berkata kalau mahkota duri itu sudah diberi racun dan duri-duri itu sangat panjang sehingga menusuk sangat dalam. Tidak tahan melihat penderitaanNya itu, air mataku pun mulai mengalir. Benar-benar ngeri. Kenapa mereka tega melakukannya?


******


Dengan diam-diam, aku mengikuti keramaian itu dari belakang. Di sepanjang jalan, hanya olok-olok yang terdengar. Ludah yang begitu banyak menempel di setiap lukaNya. Tapi dengan seluruh tenagaNya, dia tetap maju membawa kayu yang berat itu. Beberapa kali Ia terjatuh…bahkan setelah di tolong oleh Simon dari Kirene sekalipun. Kayu itu pasti sangat berat…bukan, bukan kayu itu…tapi penderitaanNya.


Setelah sampai di bukit Golgota, tempat di mana Dia akan disalibkan, mereka masih menyiksaNya. Para serdadu yang haus darah itu menelanjangi Dia dan mengundi pakaianNya. Namun itu saja belum memuaskan nafsu mereka. Mereka mengambil palu dan paku. Aku tidak pernah menyangka kalau mereka akan memaku tangan dan kakiNya. Kedua orang penjahat yang disalibkannya saja tidak dipaku, mengapa Dia, seorang yang benar, harus disiksa sampai harus dipaku?


Saat paku yang besar, panjang dan berwarna hitam itu menembus pergelangan tanganNya, Dia menjerit kesakitan. Namun dengan ketabahan hatiNya, Ia menahan sakitNya. Para serdadu itu benar-benar bukan manusia lagi. Mereka memperlakukanNya seperti…seekor binatang.


Saat semuanya sudah selesai dan salib sudah diberdirikan, mereka mengolok-olok Dia. Mereka bahkan memberi anggur masam saat Dia meminta air karena haus. Saat aku melihat salib itu…aku tahu…seharusnya akulah yang ada di sana. Dia di sana…karena dosa-dosaku. Tidak pernah aku bisa memikirkan harga yang terbayar untuk menebus dosaku ini. Aku berlutut saat itu karena tidak dapat melakukan apa-apa. Semuanya Dia lakukan…semua sudah dilakukannya.


Aku tidak akan pernah tahu seberapa besar kesepian dan ketakutanNya. Saat-saat itu, semua muridNya meninggalkan dia. Orang-orang yang mengelu-elukan Dia berkhianat terhadapNya…bahkan Bapanya sendiri…meninggalkan Dia. Sungguh mengerikan apa yang telah dia alami. Namun dengan setia dia melakukannya, “Sudah selesai.”

Sebelum menghembuskan nafasnya, Dia berteriak kepada Bapa untuk mengampuni orang-orang yang menyiksa dan menyalibkanNya. Benar-benar seorang pribadi yang tidak pernah mementingkan kepentinganNya sendiri, tetapi selalu merendahkan diri. Di akhir hidupNya pun masih berdoa buat mereka yang menyalibkanNya …Sungguh Dia adalah pribadi yang mulia.


Ketika Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, terjadi gempa yang dahsyat, seakan-akan…Bapa di surga berteriak melihat penderitaan anakNya…dan seluruh penghuni surga menangis saat itu. Bersamaan dengan itu, tirai kenisah di Bait Allah robek menjadi dua. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu berkata bahwa Dia itu benar-benar Anak Allah.

Setelah keadaan kembali normal, Yusuf dari Arimatea bersama dengan beberapa orang meminta tubuh guru untuk dikuburkan di sebuah kubur batu yang masih baru. Aku kira sudah selayaknya Dia dikuburkan di sebuah tempat yang baru, yang masih belum dipakai oleh siapapun. Hari itu adalah hari yang sangat berat bagi kami semua yang mengasihiNya…hari dimana setiap dombaNya bercerai-berai.


******


Tiga hari telah berlalu sejak kematian guru. Dengan ketakutan dan gentar, kami selalu menunggu di rumah yang sama ketika kami melakukan perjamuan malam terakhir. Entah apa yang kami nanti…kami sama sekali tidak tahu…sampai hari itu datang.

“Gawat! Ada masalah! Ku, kubur guru…kos, kosong!” seru beberapa orang wanita yang tiba-tiba saja datang ke rumah kami. Aku dan Yohanes langsung berdiri dari tempat kami dan pergi ke kubur guru. Yohanes berlari lebih cepat daripadaku sehingga dia sampai terlebih dulu. Apa yang dikatakan oleh perempuan-perempuan tadi benar. Kubur guru benar-benar kosong. Kain kafan yang dipakai tadinya sudah terlihat terlipat rapi. Kami berdua sangat bingung apa yang terjadi.


Tidak dapat melakukan apa-apa, kami pulang ke rumah. Di tengah perjalanan kami mendengar berita palsu yang mengatakan kalau kami mencuri tubuh guru. Bagaimana mungkin kami melakukan hal itu? Pasti ini dusta Mahkamah Agama. Hati kami terasa pedih karena kehilangan guru. Di rumah, murid-murid yang lain telah menanti penjelasan dari kami. Pembicaraan kami dikagetkan lagi oleh seorang wanita. Kali ini dia yang datang.


“A, aku…aku, aku melihat Dia!” seru Maria Magdalena, pelacur yang diampuni dosanya oleh guru dan menjadi muridNya. Kami semua bingung dengan apa yang dia katakan.

“Melihat dia? Siapa?” tanya seorang murid.

“Gu, guru! Aku melihat guru!” jawabnya lagi. Beberapa orang yang mendengarnya langsung ketawa. Ada beberapa lagi yang bingung. Aku sendiri tidak percaya padanya. Baru saja aku pergi ke kuburNya dan hanya melihat kain kafan yang terlipat rapi.

“Dia mengatakan padaku kalau Dia mau pergi ke BapaNya dan Bapa kita…AllahNya dan Allah kita. Kalian tahu maksudNya?” katanya lagi. Semuanya hanya melongo.

“DIA BANGKIT!!!” Saat itu hatiku tersentak. Aku baru ingat akan setiap perkataanNya mengenai kebangkitan Anak Manusia.


Apakah ini…

Maria Magdalena menceritakan segala sesuatu yang dikatakan oleh guru saat itu. Ada beberapa orang yang percaya, namun ada juga yang masih belum percaya. Bagaimanapun juga, kami sangat merindukan guru.

Di suatu malam yang tenang, ketika sedang makan malam, kami sangat dikejutkan oleh suatu sosok yang sangat kami rindukan. Guru datang malam itu. Saat itu juga, atmosfir ketakutan dan kegentaran hilang digantikan dengan sukacita yang…wow! Sulit untuk diceritakan. Guru selalu membawa damai sejahtera ke manapun Ia pergi. Malam itu menjadi malam yang sangat menyenangkan bagi kami. Beberapa kali lagi Dia datang kepada kami, termasuk kepada dua orang teman kami yang sedang dalam perjalanan ke Emaus.


Dari semua itu, ada hari yang sangat berkesan dalam hatiku. Jika hari itu tidak ada, mungkin aku pun sudah menyerah. Hari itu, aku bersama dengan Yohanes, Yakobus, Tomas, Natanael dan beberapa orang murid yang lain sedang mencari ikan di Danau Tiberias. Sampai hari itu aku masih teringat akan penyangkalanku terhadap guru. Aku masih belum dapat melupakan masa lalu yang sungguh membuatku malu dan tidak layak berhadapan denganNya. Sekalipun aku telah melihat Dia bangkit, tetapi perasaan bersalah ini masih terus ada.


Lagi-lagi kami tidak mendapatkan apa-apa. Entah ke mana larinya ikan-ikan di danau itu. Sudah dari malam kami mencari, tapi tidak mendapatkan ikan satupun. Ketika kami sudah menyerah, karena hari sudah semakin siang, ada seorang pria yang berteriak dari pantai.

“HHOOII!!! Anak-Anak!!! Kalian punya lauk, tidak?” seru pria itu. Orang aneh pikirku. Apa dia tidak melihat perahu kami yang kosong melompong ini. Spontan kami berkata tidak ada ikan pada kami.

“Kalau begitu, lemparkan aja jalamu ke sebelah kanan perahu. Nanti khan dapat!” serunya lagi. Semuanya hanya bingung, tetapi jantungku kembali berdetak keras. Lagi-lagi perasaan ini. Perkara besar yang dilakukan guru…selalu seperti ini. Tanpa komentar lagi, aku melemparkan jalaku ke sebelah kanan. Hatiku kembali meledak ketika aku hampir jatuh karena menarik jala yang penuh dengan ikan. Teman-teman yang lain segera menolongku. Hari itu kami menangkap seratus lima puluh tiga ekor ikan besar. Menurut para nelayan, di daerah itu ada seratus lima puluh tiga jenis ikan…dan hari itu, kami menangkap raja-raja ikan tersebut. Sungguh dahsyat!


“ITU GURU !!!” seru Yohanes sambil menunjuk ke arah pria itu. Aku langsung menoleh ke arahnya dan dengan jelas aku melihat wajah guru yang memancarkan kasih itu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, hanya kesenangan yang meluap dalam hatiku. Dengan cepat aku mengambil pakaianku dan terjun berenang sampai ke pantai. Murid-murid yang ada di kapal segera mengikutiku.


Kami semua hanya terdiam saat itu. Kesenangan dalam hatiku pun menjadi semakin pudar karena aku mengingat akan dosaku yang lalu. Namun seakan-akan tidak terjadi apa-apa, Dia mengajak kami semua duduk dan makan di sana. Dia mengambil beberapa ikan yang kami tangkap dan memberikannya kepada kami beserta roti yang ada padaNya. Inilah saat-saat Dia memulihkan aku dari bayangan masa lalu.

“Simon, anak Yohanes…apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” tanyaNya dengan lembut. Aku sangat terkejut dengan pertanyaanNya itu. Di satu sisi aku berpikir kalau-kalau Dia masih mengingat akan dosa penyangkalanku dulu..tapi di sisi lain, sorotan mataNya yang penuh cinta itu menunjukkan kasihNya padaku…tidak mungkin Dia masih mengingat dosaku yang dulu.

“Benar, Tuhan…Engkau tahu aku mengasihiMu.” jawabku dengan pasti.

“Gembalakan domba-dombaKu.” kataNya lagi. Aku hanya terdiam. Bagaimana mungkin aku menggembalakan domba-dombaNya? Aku sudah mengkhianati Dia.

“Simon, anak Yohanes…apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” tanyaNya lagi. Di dalam setiap pertanyaanNya tidak ada nada pesimis atau ragu sama sekali.

“Benar, Tuhan…Engkau tahu kalau aku mengasihiMu.” jawabku lagi.

“Gembalakan domba-dombaKu.” kataNya yang kedua kali. Di luar dugaanku, Dia bertanya yang ketiga kali.

“Simon, anak Yohanes…apakah Engkau mengasihi aku?” Maka sedihlah hatiku karena sangat berat bagiku untuk mengatakan kata ‘benar’ sedangkan aku masih mengingat akan masa laluku di mana aku telah menyangkal Dia. Tetapi dengan segenap hati, aku tetap berkata kepadaNya.

“Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu. Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

“Gembalakanlah domba-dombaKu.” Aku tidak menyangka kalau itu yang akan dikatakanNya lagi. Padahal tadinya aku mengira kalau Dia akan menyindirku dengan mengatakan tentang penyangkalanku. Dia sungguh baik dan pengampun. Dia tidak pernah mengingat-ingat lagi dosaku. Bahkan Dia sangat mempercayaiku sepenuhnya…dengan mempercayakan domba-dombaNya kepadaku. Saat itu juga, rasa bersalahku hilang dan kekuatanku mulai pulih. Ya! Aku akan menggembalakan domba-dombaMu…sampai akhir hayatku.


Tidak terasa, empat puluh hari kami lalui. Guru sering menampakkan dirin dan mengajar kami tentang kebenaran firman Tuhan. Hari yang agung itupun tiba. Dia akhirnya naik ke surga. Ada kurang lebih lima ratus orang yang melihat kenaikanNya itu. Sungguh luar biasa. Dia Tuhan yang hidup…Dia bangkit dan naik ke surga.

Sepuluh hari penantian kami akan janjiNya, yaitu seorang Penolong yang lain, pun tiba. Roh Kudus itu turun dan memberi kekuatan pada kami semua. Malam itu juga kami keluar dengan semangat yang berkobar-kobar, memberitakan tentang apa saja yang kami ketahui tentang guru. Banyak orang bertobat dan menjadi murid guru. Jumlah murid pun semakin lama semakin bertambah. Sekalipun banyak rintangan yang menghadang, kami tetap setia pada guru. Cinta kasihNya yang luar biasa buat kami…itu yang membuat kami berani menderita…bahkan mati bagiNya. Dia telah setia kepada kami, kami pun sudah selayaknya setia kepadaNya.


Di saat-saat akhir hidupku ini…aku masih mengingat pengampunanNya yang tidak pernah habis. Waktu itu masa pemerintahan kaisar Nero di Roma. Suatu malam, dia membakar kota Roma dan menuduh orang Kristen yang melakukan pembakaran itu. Oleh karena itu, dia mulai mengejar, menangkap dan bahkan membunuh kami semua.

Para serdadu Kaisar Nero akhirnya sampai di tempat di mana aku berada. Mereka sudah akan masuk untuk menangkapku. Aku tahu…saat kematianku sebagai martir sudah dekat. Tapi beberapa murid membujukku untuk segera melarikan diri melalui catacomb, sebuah jalan di bawah tanah.


“Tuhan akan memberkati kebaikan hati kalian, tapi kalian tidak sadar kalau guru sendiri yang berkata tiga kali kepadaku, ‘Gembalakanlah domba-dombaKu.’” kataku menolak ajakan mereka. Aku tahu mereka semua mengkhawatirkanku. “Aku tidak bisa meninggalkan domba-dombaku di saat masalah menghadang. Saat badai datang di danau waktu itu dan kita semua ketakutan, guru tidak membiarkan kita. Lalu sekarang, mengapa aku harus meninggalkan domba-domba yang telah dipercayakanNya kepadaku?” lanjutku.

Namun beberapa murid terus membujukku termasuk Paulus yang saat itu termasuk orang yang disegani di antara kami. Aku pun akhirnya pergi melarikan diri.

Aku melarikan diri dari kematian sebagai martir…tidak lagi ingat akan janjiku. Tapi di tengah perjalanan, aku melihat sebuah cahaya terang yang turun dari langit, seperti sebuah lingkaran emas matahari. Cahaya itu bergerak ke arah kami.

“Apa kamu lihat cahaya itu, Nazarius?” tanyaku pada Nazarius yang saat itu menemaniku.

“Ti, tidak. Aku tidak melihat apa-apa.” jawabnya sambil melihat ke sekitar kami.

Aku mengusap-usap mataku karena cahaya itu mulai berubah menjadi sebuah sosok manusia.

“Ada seseorang yang mendekati kita.” kataku lagi.

“Hm…tidak ada suara langkah kaki…tapi memang aneh. Aku melihat pohon-pohon di sana bergerak-gerak…seolah-olah ada yang menggerakkannya.”


Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Mataku sudah agak rabun saat itu karena usiaku sudah lanjut. Tetapi saat sosok itu semakin dekat, aku melihatnya dengan jelas. Mata yang penuh dengan kasih…itu…guru.

Tongkat yang aku pegang jatuh dari tanganku. Mulutku ternganga. Hatiku dipenuhi dengan perasaan terkejut namun juga bahagia. Aku langsung berlutut saat itu dan menyembah Dia, meskipun aku tidak berani menatap mukaNya lebih lama. Lalu Dia berjalan melewati aku.

“Domine…quo vadis? Tuhan…kau mau ke mana?” tanyaku sambil berbalik memandangNya.

Dia berbalik memandangku. Di telingaku terdengar suara yang sedih namun sangat manis dan lembut, “Kau melupakan dan membiarkan umatKu…karena itu, Aku akan kembali ke Roma…untuk disalib kedua kali.”

Saat itu hatiku kembali hancur. Aku merasa sangat bersalah saat itu. Tiba-tiba saja, semua perkataanNya kembali terngiang dalam pikiranku. Penyangkalanku yang dulu, “Aku tidak kenal dia !!! Aku tidak kenal dia !!! Aku tidak kenal dia !!!” dan pengampunannya padaku, “Apakah kau mengasihiKu? Gembalakanlah domba-dombaKu. Apakah kau mengasihiKu? Gembalakanlah domba-dombaKu. Apakah kau mengasihiKu? Gembalakanlah domba-dombaKu.”

Air mata penyesalan pun mengalir. Aku membungkukkan diriku sampai wajahku mengenai tanah. Aku sangat tidak berguna. Kenapa aku harus takut lagi? Setelah apa yang Ia lakukan untukku? “ARRRGGHH!!! Tuhan, ampuni aku…!!!” Aku teringat akan perkataanNya, “Seorang gembala yang baik membaringkan domba-dombanya di padang yang hijau.”

Sesaat aku berdiam di sana. Setelah kekuatanku kembali, aku mengambil tongkatku dan berjalan kembali.

“Domine…quo vadis? Tuan…Anda mau ke mana?” tanya Nazarius yang bingung.

“…ke Roma.” kataku dengan suara pelan.

Di sinilah akhir hidupku. Waktuku sudah tiba. Besok aku akan dihukum mati…disalib seperti guru. Namun aku berkata pada hakim saat itu supaya aku disalib terbalik…karena aku tidak layak mati seperti guru. Takut dan gentar memang ada dalam hatiku, tapi guru pun pernah mengalaminya. Seorang murid…tidak pernah melebihi gurunya.

Banyak orang yang mengenal aku sebagai orang yang takut dan bingung tetapi taat pada akhirnya. Sampai kini aku tidak pernah menyesal menjadi muridNya.


Dia tidak pernah menyerah terhadapku. Thank you, Jesus Christ, you are my lovely Prince.


THE END


0 comments: